Menemukan Tuhan dalam banjir
Ya Allah, aku rasakan kehadiran-Mu kini!
"Lam, komputer lu kebawa?" tanya seorang tetanggaku. Ia tahu aku pekerja rumahan.
Aku menggeleng lemah. Aku hanya sempat membawa dua tas penuh berisi arsip tulisanku, dokumen berharga serta beberapa buku dan kamus.
"Yah, beli baru deh, Lam. Tadi Jaki udah ke bawah. Rume lo udah tinggal atap," ujarnya mengabari kondisi adik bungsuku.
Tapi aku menginderai ada empati di dalamnya.
Rumah tetanggaku itu persis di seberang jalan, berhadapan dengan rumahku. Meski lebih tinggi beberapa undakan anak tangga tapi jika rumahku terendam seatap pastilah nasib rumahnya tak kalah mengenaskan.
Lemas sudah lututku. Bukan soal harus beli komputer baru. Tapi dokumen tulisan dan orderan terjemahan dalam komputer itu, itulah soalnya.
Duh, Ya Allah. Kok begini!
Di malam nahas itu tak banyak yang aku lakukan. Hanya menunggui air sepanjang malam.
Entah kapan ia surut sehingga aku dapat membangun kembali harapanku. Hanya termenung dan sesekali ngobrol kosong dengan sesama pengungsi.