Mohon tunggu...
Nursalam AR
Nursalam AR Mohon Tunggu... Penerjemah - Penerjemah

Penerjemah dan konsultan bahasa. Pendiri Komunitas Penerjemah Hukum Indonesia (KOPHI) dan grup FB Terjemahan Hukum (Legal Translation). Penulis buku "Kamus High Quality Jomblo" dan kumpulan cerpen "Dongeng Kampung Kecil". Instagram: @bungsalamofficial. Blog: nursalam.wordpress.com.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Kisah Nyata Korban Banjir Jakarta

27 Februari 2021   10:00 Diperbarui: 27 Februari 2021   10:18 988
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketika aku coba turuni air kecoklatan menuju ke rumah, baru beberapa meter aku menyerobok air kecoklatan yang dingin menyengat tulang, beberapa hansip meneriakiku agar menepi. Kata mereka masih ada banjir susulan lagi. Berita dari posko banjir pusat, katanya.

Ah, padahal aku masih berharap bisa masuk ke rumahku.

Mungkin ada benda-benda yang bisa diselamatkan. Setidaknya hard disk komputerku tidak lama-lama terendam. Ada proyek buku pesanan dari sebuah penerbit yang harus diserahkan pertengahan Februari.

Akhirnya, atas izin Allah, belakangan proyek itu selesai juga setelah mendapat perpanjangan waktu. Ya, karena aku harus menulis ulang buku itu dari awal.

Pukul dua pagi dalam kondisi kelelahan, aku beristirahat di Masjid Baitul Khair di dekat tempat pengungsian.

Malam itu tak berselera rasanya untuk ngobrolmembunuh duka atau sekadar ngemil penganan bantuan.

Kendati sebagian pengungsi sibuk berebut jatah ransum dan minuman gratis dari banyak pihak yang membuka posko bantuan darurat di sekitar tempat pengungsian.

Rasanya semua pihak turut tangan entah dengan apa pun motivasi mereka. Mulai dari tim kampanye para kandidat gubernur DKI, partai politik, LSM, instansi pemerintah hingga yayasan asing dari luar negeri. Riuh sekali.

Tapi saat itu aku hanya ingin menyendiri.

Dalam keheningan malam, setelah berwudhu, aku tunaikan sholat Isya yang tertunda. Dingin air menyejukkan. Terutama ketika sujud dan mengadukan derita di karpet mesjid.

Rasanya inilah sholatku yang paling khusyuk seumur hidup. Terbayang sholat-sholatku sebelum banjir yang sering bagai sekadar menuntaskan kewajiban. Terburu-buru dan tanpa hati. Semata-mata karena tenggat pekerjaan yang tak kenal waktu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun