Di saat bencana, orang memang cenderung lebih peka. Peka akan luka dan juga peka akan sang pencipta-Nya.
Nikmat adalah nikmat tatkala tiada
Selama kurang lebih lima hari pasca-banjir tanpa listrik, membaca Al-Qur'an di bawah cahaya lilin jauh sangat nikmat dibandingkan benderang lampu neon yang biasanya.
Mandi seadanya dengan hanya dua ember air yang didapat dengan berebut antre dengan puluhan orang lain rasanya sangat mewah karena dua hari belum tak tersentuh air bersih.
Memang benar bahwa nikmat adalah nikmat tatkala tiada. Saat di genggaman ia hanyalah kewajaran yang lazim ada. Saking lazimnya kita menganggapnya sudah semestinya. Bahkan kita sia-siakan.
Dalam banjir kutemukan Tuhan dengan segenap kekuasaan-Nya.
Yang mampu membuat seorang anak rela meninggalkan orang tuanya yang teronggok di tempat tidur. Untunglah sang ayah renta diselamatkan orang lain.
Yang mampu membuat seorang ibu karena takutnya digulung air terlupa akan bayinya yang tercebur ketika hendak melompat ke perahu karet. Untung saja sang bayi mungil terselamatkan oleh kesigapan tim SAR.
Kun fayakun. Jika Allah berkehendak jadi maka terjadilah. Manusia hanya dapat memperkirakan penyebabnya ketika telah terjadi.
Allah selalu punya alasan untuk segala kejadian. Terlepas dari apa pun logika manusia yang coba menalarnya atau seribut apa pun orang-orang saling bertarung dan menuding melimpahkan kesalahan dan mencari kambing hitam atas kejadian tersebut.
Jakarta, jelang Ramadhan
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!