Mohon tunggu...
Nursalam AR
Nursalam AR Mohon Tunggu... Penerjemah - Penerjemah

Penerjemah dan konsultan bahasa. Pendiri Komunitas Penerjemah Hukum Indonesia (KOPHI) dan grup FB Terjemahan Hukum (Legal Translation). Penulis buku "Kamus High Quality Jomblo" dan kumpulan cerpen "Dongeng Kampung Kecil". Instagram: @bungsalamofficial. Blog: nursalam.wordpress.com.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Kisah Nyata Korban Banjir Jakarta

27 Februari 2021   10:00 Diperbarui: 27 Februari 2021   10:18 988
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di ujung bawah tanjakan, air banjir kecoklatan menderu. Tingginya setinggi atap masjid Darul Mukhtar. Kurang lebih empat meteran.

Masjid tersebut merupakan akses utama menuju ke tempat yang lebih tinggi yang biasaya menjadi titik pengungsian sementara. Namun masjid yang terletak di pertigaan jalan Pengadegan Timur itu juga merupakan tempat terendah jika terjadi banjir.

Maka warga menjadikan patokan tingginya air di sekitar masjid tersebut sebagai indikator keganasan banjir. Terutama sebagai ukuran kapan harus mulai mengangkuti barang keluar rumah atau kembali ke rumah pasca-banjir.

Pertigaan di depan masjid juga sekaligus merupakan tempat bertemunya dua arus air, dari Kali Ciliwung dan anak sungai Ciliwung yang berpintu air di sebelah Barat.

Jadi, tak heran di sepanjang jalur mulai dari gerbang masjid menuju ke arah tanjakan sejauh 200 meter dipasangi tambang agar orang-orang yang lewat terutama yang membawa barang dapat berpegangan dan tidak terhempas dihajar gelombang. Airnya sangat dingin dan arusnya kencang.

Kakiku sendiri sempat kram ketika bolak-balik melintasi jalur itu untuk menengok rumah selama beberapa hari terendam.

Perahu karet yang melintasi jalur itu ketika puncak banjir---ketika masjid hanya tinggal atap dan kubah---juga harus bermanuver berkali-kali menghindari hempasan arus.

Pada kejadian banjiir 1996, aku menyaksikan sendiri seekor kerbau besar terbanting dan terseret arus di pertigaan itu.

Si kerbau malang menguik-nguik pilu menjelang ajal.

Hingga kini aku masih ingat suara kuikan pilu kerbau tersebut. Dramatis dan horor. Karena saat itu ditingkahi gerimis air dan suara deru air banjir yang dari kejauhan seperti deru badai tornado.

Sementara halaman kantor kecamatan Pancoran dan kampus universitas swasta itu sejak 1996, ketika banjir pertama kali menerjang pemukiman kami, merupakan titik pengungsian darurat yang strategis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun