Remasan jemari wanita pemijat plus-plus bisa mengantarnya ke alam lain yang membuatnya perkasa melampiaskan dendam terhadap wanita, kaum istrinya. Sekaligus menebus kerinduan akan sosok molek istrinya dulu yang kini sudah seperti gajah di Way Kambas sana di provinsi kelahiran Nina.
"Bang, ya atau tidak?!"
Yan menggeleng. Uchi meledak dalam tangis. Dalam frame lain, Nina mencibir pongah.
"Baik, kita cerai. Tidak ada harta gono-gini. Modal kamu menikahiku juga cuma kolor dan batangmu!"Â
Nina pergi. Yan pun pergi. Puluhan pil penenang menemaninya sakaratul mautnya. Entah apa pertanyaan pertama sang malaikat di kuburnya. Tak ada Nina yang membisikkan jawaban untuknya.
Ah, Uchi, dukamu begitu dalam. Hingga aku dapat menjalar liar dari benakmu ke sumsum tragedimu. Andai kau tahu apa yang aku ketahui...
Kereta terus berjalan.Â
Uchi masih tepekur diam di bangku seraya menatap kosong. Tubuhnya masih saja padat menggoda. Masih saja tangan-tangan nakal tak sah menikmatinya. Tapi kini Uchi menikmatinya.
Ah, Uchi, jangan pernah kau merasa kotor, Sayang. Buang pikiran itu!
Hingga suatu ketika aku lengah memerhatikannya.Â
Bangku Uchi kosong. Kereta yang terus berjalan tanpa henti mendadak mogok.Â