Perhatianku keburu terampas oleh seorang gadis hitam manis berambut panjang di ujung gerbong.Â
Ia duduk diam, pandangannya menerawang. Matanya kosong. Sekosong isi kepalanya ketika aku terobos benaknya. Namun ada lipatan-lipatan neuron otaknya yang membuatku tahu siapa dia.Â
Hm...Uchi. Apa gerangan yang membuatmu bersedih?
Ada suatu file di neuron otaknya. Di sepenggal malam sunyi. Durasi sekian jam.Â
Uchi terisak pelan. Derai airmata membulir dalam gelap mata cantiknya. Wajah Ambon manise titipan ibunya sebetulnya cukup menarik. Entah mengapa ia belum dapat jodoh juga.Â
Sebagai penumpang kereta, sebetulnya cukup banyak lelaki yang mengajaknya berkenalan. Tapi hanya iseng. Seiseng jemari mereka yang merambah bongkahan padat auratnya di tengah kesesakan sarden kereta.
Mau buat apa ia, bergerak pun tak kuasa. Lidahnya terlalu geram untuk menjerit. Hanya geram dan sedih tertahan dalam gerayangan jahanam. Meski kadang ia merinduinya juga, serindu perawan usia tigapuluhan akan madu lelaki.
Ah, ada file manis juga ternyata!
"Turun di mana, Mbak?" Lelaki tampan dan simpatik itu bertanya dengan tatapan hangatnya. Senyumnya mengembang. Dagunya belah dua.
"Juanda," Uchi tersipu malu.
Yan, namanya. Dokter muda yang hari itu terpaksa naik kereta karena mobilnya rusak. Keterpaksaan yang jadi kebiasaan. Pertemuan demi pertemuan.