Kesuksesan yang rasanya sudah lengket di tangan sekejap luluh berubah kelamin menjadi kegagalan.
Ternyata hidup jadi penulis pemula, batin saya waktu pertama kali tahu, benar-benar lebih kejam daripada ujian nasional generasi milenial.
Tak ada sedetik pun titik aman hatta naskah kita sudah dinyatakan terpilih di depan khalayak dan sampai pada tahapan revisi menjelang naik cetak. Cerpen itu digusur begitu saja oleh cerpen lain karya sang penulis 'asing'.
Ya, saya sebut 'asing' karena cerpennya mendadak dimuat tanpa jelas apakah ia ikut mengirim karya untuk diseleksi atau apakah karyanya lolos pada seleksi awal.
Ah, mungkin, seperti turnamen tennis Wimbledon, ia punya wild card, saya coba berhusnuzon.
Atau seperti kalangan pemuka agama di Eropa pada Abad Pertengahan (Dark Ages) yang merasa memiliki 'kartu pas khusus' untuk masuk surga.
Apapun itu, tragedi ini bak taufan yang menghempaskan saya ke titik nadir optimisme. Akhirnya saya hanya berserah pada asma-Nya, bukan pada manusia, yang hatinya mudah berbolak-balik.
Seperti seorang kawan saya yang juga dipaksa berpasrah pada takdir. Ia juga saat itu penulis pemula.
Bayangannya akan keriaan peluncuran novel pertamanya pupus ketika sang penulis idola yang diundangnya jauh-jauh hari khusus untuk acara itu memutuskan hengkang dari tempat peluncuran buku hanya beberapa saat menjelang acara dimulai.
Pasalnya sang penulis besar itu tidak sreg dengan penerbit yang menerbitkan novel pertama kawan saya tersebut. Konon beliau punya persoalan pribadi dengan penerbit tersebut.
Sang kawan pun memaknainya sebagai kegagalan, dan menangis tersedu-sedu karena sakit hati akibat tikaman tersebut. Nyaris saja acara batal. Untunglah kawan yang lain menenangkannya.