Mohon tunggu...
Nursalam AR
Nursalam AR Mohon Tunggu... Penerjemah - Penerjemah

Penerjemah dan konsultan bahasa. Pendiri Komunitas Penerjemah Hukum Indonesia (KOPHI) dan grup FB Terjemahan Hukum (Legal Translation). Penulis buku "Kamus High Quality Jomblo" dan kumpulan cerpen "Dongeng Kampung Kecil". Instagram: @bungsalamofficial. Blog: nursalam.wordpress.com.

Selanjutnya

Tutup

Diary Artikel Utama

Jika Kegagalan adalah Guru, Apakah Ia Guru yang Baik?

14 Februari 2021   07:38 Diperbarui: 21 Februari 2021   17:39 2218
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kutipan bijak Oprah Winfrey/Sumber: quotefancy.com

Kita mungkin familiar dengan sebuah pesan bijak,"kegagalan adalah keberhasilan yang tertunda." 

Atau,"gagal itu biasa berani bangkit itu baru luarbiasa".

Berbagai buku motivasi dari para begawan kesuksesan juga mengutarakan hal yang sama.

Di sisi lain, barangkali itu senyawa dengan perkataan bijak lain dalam bahasa Inggris,"experience is the best teacher". Pengalaman adalah guru yang terbaik.

Secara logika mungkin itu masuk di akal kita. Tapi bagaimana dengan perasaan kita? Akankah kita legowo menerimanya?

Seorang kawan bisa saja dengan penuh empati menghibur saya,"Sabar, Kawan, semua ini ujian. Saya paham kok perasaanmu."

Saat itu saya mengalami kebangkrutan yang sebenar-benarnya dalam artian perasaan maupun materi akibat banjir besar yang bergiliran datang setelah wafatnya satu-satunya orang tua saya yang tersisa, sang ayah, pada kurun September 2006 hingga Februari 2007.

Saya hanya tersenyum tanda berterima kasih.

Tapi apakah sang kawan paham sesungguhnya perasaan saya?

Wallahu a'lam. Karena ia punya orang tua lengkap dan rumahnya sama sekali aman dari banjir.

Berbeda ketika seorang sahabat yang mengalami bencana yang sama menyalami saya seraya berujar pendek,"Sabar ya, Lam."

Pendek saja, tapi bermakna. Ada kristalisasi perasaan yang sama, yang satu frekuensi dengan apa yang bergejolak di dalam dada saya.

Tanpa bermaksud menafikan empati atas bencana atau kegagalan, karena itu jelas jauh lebih berarti ketimbang kawan-kawan yang hanya datang kepada kita di saat mereka ada hajat saja, dari manapun datangnya, kegagalan tidak serta merta menjadi pelajaran yang mudah kita cerna hakikatnya.

Jika kegagalan adalah guru, bukankah guru itu berderajat tingkatannya?

Bad teacher tells; mediocre teacher teaches, and great teacher inspires.

Guru yang jelek kerjanya menyuruh saja; guru yang biasa-biasa saja hanya mengajar sementara guru yang hebat menginspirasi kita untuk menggali potensi dan berbuat yang terbaik.

Bukankah kita kerap lebih bodoh daripada keledai karena berkali-kali terjerumus pada liang kesalahan yang sama?

Siapakah yang salah?

Kita sebagai pemelajar atau kegagalan yang terdahulu sebagai guru?

Seorang kenalan yang juga nyambi sebagai pengajar di sebuah bimbingan belajar berujar kepada saya,"Tak mungkin seorang pengajar seperti saya mengikuti dan memahami gaya belajar setiap murid. Justru muridlah yang harus mengikuti gaya mengajar saya."

Barangkali di sinilah kita ketemu justifikasi kenapa seorang guru sah-sah saja bergaya killer atau justru ramah mem(p)esona.

Kakak perempuan tertua saya yang seorang guru Taman Kanak-Kanak berpendapat lain. "Setiap guru pasti memahami dan kenal murid-murid yang pernah dididiknya."

Ia mencontohkan guru-guru sekolah yang umumnya lebih cepat mengenali murid-muridnya ketika bertemu di jalan kendati sudah belasan atau puluhan tahun tak bersua.

Untuk pendapat yang satu ini, saya juga manggut-manggut.

Sempat beberapa kali saya dibuat malu ketika berpapasan dengan para guru saya di jalan. Karena beberapa kali mereka lebih dulu mengenali dan menyapa saya. Lengkap dengan keterangan dengan siapa saya berkawan duduk di sekolah dulu.

Sementara saya hanya tersenyum-senyum mati angin seraya mengingat-ingat siapa gerangan nama ibu atau bapak guru yang malang itu.

Ya, sungguh malang.

Sebagai murid, saya sungguh kurang ajar karena tidak mampu mengingat nama orang-orang yang berjasa kepada saya itu.

Betul kata Kafka. Lupa adalah tragedi kemanusiaan yang terbesar.

Sebagai elemen kehidupan, kegagalan tak hanya berderajat untuk tingkat kemudahan diambil hikmahnya juga ia bersifat tak eksak.

Apakah ada rumus eksak bahwa setiap orang yang ditimpa kegagalan terbesar akan lantas menjadi orang besar?

Meski banyak orang bilang "the leaders born out of the crisis", pemimpin itu terlahir dari krisis, jiwa baja kepemimpinan tidak lantas muncul begitu saja bagai mie instan yang siap rebus di kompor. Ia butuh ingredient yang pas untuk tampil tegar.

Jika cinta sebagai salah satu elemen kehidupan, seperti dalam senandung dangdut lawas Thomas Jorgi, butuh sembako cinta seperti pengertian, perhatian dll, mengapa tidak demikian dengan kegagalan?

Apabila kegagalan adalah guru dengan hierarki derajatnya tersebut maka sudahkah kita menjadi pemelajar yang cerdas yang, terlepas dari apapun gaya mengajar sang guru, sanggup mengarifi hikmah kehidupan yang ada?

Dalam hal ini saya mungkin murid yang bebal.

'Kegagalan' salah satu cerpen humor, yang pertama kali saya buat, untuk masuk dalam sebuah antologi cerpen humor sebagai tanda kasih korban bencana alam yang diadakan sebuah penerbit pada sekitar 2006 selama bertahun-tahun belum dapat atau belum rela saya tangkap hikmahnya. Barangkali karena saking tragisnya kegagalan tersebut.

Cerpen bergenre black comedy itu dinyatakan gagal masuk justru di detik-detik akhir menjelang penerbitan antologi tersebut. Sebelumnya, cerpen nahas tersebut dinyatakan lolos sebagai enam cerpen terpilih di antara ratusan naskah yang masuk.

Sang editor pun beberapa kali menghubungi saya via surel guna revisi yang diperlukan setelah sebelumnya mengucapkan selamat atas terpilihnya naskah saya.

Alangkah berbunganya hati saya!

Meski tak dibayar karena itu proyek amal, sebagai penulis pemula, keberhasilan ini akan saya kenang sebagai salah satu tonggak pencapaian, batin saya saat itu.

Tuhan punya rencana, atau entah ada rekayasa manusia, hingga sehari menjelang peluncuran antologi cerpen tersebut, tiada kabar berita.

Berita 'kegagalan' dimuatnya cerpen itu pun saya dapat via SMS setelah saya berupaya setengah mati mendapatkan nomor ponsel sang editor.

Apa pasal?

Kesuksesan yang rasanya sudah lengket di tangan sekejap luluh berubah kelamin menjadi kegagalan.

Ternyata hidup jadi penulis pemula, batin saya waktu pertama kali tahu, benar-benar lebih kejam daripada ujian nasional generasi milenial.

Tak ada sedetik pun titik aman hatta naskah kita sudah dinyatakan terpilih di depan khalayak dan sampai pada tahapan revisi menjelang naik cetak. Cerpen itu digusur begitu saja oleh cerpen lain karya sang penulis 'asing'.

Ya, saya sebut 'asing' karena cerpennya mendadak dimuat tanpa jelas apakah ia ikut mengirim karya untuk diseleksi atau apakah karyanya lolos pada seleksi awal.

Ah, mungkin, seperti turnamen tennis Wimbledon, ia punya wild card, saya coba berhusnuzon.

Atau seperti kalangan pemuka agama di Eropa pada Abad Pertengahan (Dark Ages) yang merasa memiliki 'kartu pas khusus' untuk masuk surga.

Apapun itu, tragedi ini bak taufan yang menghempaskan saya ke titik nadir optimisme. Akhirnya saya hanya berserah pada asma-Nya, bukan pada manusia, yang hatinya mudah berbolak-balik.

Seperti seorang kawan saya yang juga dipaksa berpasrah pada takdir. Ia juga saat itu penulis pemula.

Bayangannya akan keriaan peluncuran novel pertamanya pupus ketika sang penulis idola yang diundangnya jauh-jauh hari khusus untuk acara itu memutuskan hengkang dari tempat peluncuran buku hanya beberapa saat menjelang acara dimulai.

Pasalnya sang penulis besar itu tidak sreg dengan penerbit yang menerbitkan novel pertama kawan saya tersebut. Konon beliau punya persoalan pribadi dengan penerbit tersebut.

Sang kawan pun memaknainya sebagai kegagalan, dan menangis tersedu-sedu karena sakit hati akibat tikaman tersebut. Nyaris saja acara batal. Untunglah kawan yang lain menenangkannya.

Ah, rasanya saya cukup paham deritamu, Kawan, bisik saya dalam hati ketika sang kawan menceritakannya kepada saya di sepotong Ahad pagi belasan tahun silam.

Selepas curhat itu, ia sudah tampak lebih ikhlas. Meskipun kecewa tentu saja masih tergurat di wajah manisnya yang biasanya selalu ceria.

Pada akhirnya sang kawan dan saya, murid kehidupan yang bebal ini, mengalami perjalanan waktu yang menyembuhkan. Time is healing. 

Barangkali kondisi kami saat itu sebagaimana dalam puisi Sehabis Sakit (Joko Pinurbo, 2006),"tubuhku kenangan yang sedang menyembuhkan lukanya sendiri."

Waktu berjalan, segenap cerita hidup telah lewat, dan kita harus move on, beranjak dan berjalan terus. Karena di situlah esensi makna pemelajaran dari kegagalan yang merupakan guru kehidupan.

Jakarta, jelang Ramadhan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun