Jika cinta sebagai salah satu elemen kehidupan, seperti dalam senandung dangdut lawas Thomas Jorgi, butuh sembako cinta seperti pengertian, perhatian dll, mengapa tidak demikian dengan kegagalan?
Apabila kegagalan adalah guru dengan hierarki derajatnya tersebut maka sudahkah kita menjadi pemelajar yang cerdas yang, terlepas dari apapun gaya mengajar sang guru, sanggup mengarifi hikmah kehidupan yang ada?
Dalam hal ini saya mungkin murid yang bebal.
'Kegagalan' salah satu cerpen humor, yang pertama kali saya buat, untuk masuk dalam sebuah antologi cerpen humor sebagai tanda kasih korban bencana alam yang diadakan sebuah penerbit pada sekitar 2006 selama bertahun-tahun belum dapat atau belum rela saya tangkap hikmahnya. Barangkali karena saking tragisnya kegagalan tersebut.
Cerpen bergenre black comedy itu dinyatakan gagal masuk justru di detik-detik akhir menjelang penerbitan antologi tersebut. Sebelumnya, cerpen nahas tersebut dinyatakan lolos sebagai enam cerpen terpilih di antara ratusan naskah yang masuk.
Sang editor pun beberapa kali menghubungi saya via surel guna revisi yang diperlukan setelah sebelumnya mengucapkan selamat atas terpilihnya naskah saya.
Alangkah berbunganya hati saya!
Meski tak dibayar karena itu proyek amal, sebagai penulis pemula, keberhasilan ini akan saya kenang sebagai salah satu tonggak pencapaian, batin saya saat itu.
Tuhan punya rencana, atau entah ada rekayasa manusia, hingga sehari menjelang peluncuran antologi cerpen tersebut, tiada kabar berita.
Berita 'kegagalan' dimuatnya cerpen itu pun saya dapat via SMS setelah saya berupaya setengah mati mendapatkan nomor ponsel sang editor.
Apa pasal?