Berbeda ketika seorang sahabat yang mengalami bencana yang sama menyalami saya seraya berujar pendek,"Sabar ya, Lam."
Pendek saja, tapi bermakna. Ada kristalisasi perasaan yang sama, yang satu frekuensi dengan apa yang bergejolak di dalam dada saya.
Tanpa bermaksud menafikan empati atas bencana atau kegagalan, karena itu jelas jauh lebih berarti ketimbang kawan-kawan yang hanya datang kepada kita di saat mereka ada hajat saja, dari manapun datangnya, kegagalan tidak serta merta menjadi pelajaran yang mudah kita cerna hakikatnya.
Jika kegagalan adalah guru, bukankah guru itu berderajat tingkatannya?
Bad teacher tells; mediocre teacher teaches, and great teacher inspires.
Guru yang jelek kerjanya menyuruh saja; guru yang biasa-biasa saja hanya mengajar sementara guru yang hebat menginspirasi kita untuk menggali potensi dan berbuat yang terbaik.
Bukankah kita kerap lebih bodoh daripada keledai karena berkali-kali terjerumus pada liang kesalahan yang sama?
Siapakah yang salah?
Kita sebagai pemelajar atau kegagalan yang terdahulu sebagai guru?
Seorang kenalan yang juga nyambi sebagai pengajar di sebuah bimbingan belajar berujar kepada saya,"Tak mungkin seorang pengajar seperti saya mengikuti dan memahami gaya belajar setiap murid. Justru muridlah yang harus mengikuti gaya mengajar saya."
Barangkali di sinilah kita ketemu justifikasi kenapa seorang guru sah-sah saja bergaya killer atau justru ramah mem(p)esona.