Kakak perempuan tertua saya yang seorang guru Taman Kanak-Kanak berpendapat lain. "Setiap guru pasti memahami dan kenal murid-murid yang pernah dididiknya."
Ia mencontohkan guru-guru sekolah yang umumnya lebih cepat mengenali murid-muridnya ketika bertemu di jalan kendati sudah belasan atau puluhan tahun tak bersua.
Untuk pendapat yang satu ini, saya juga manggut-manggut.
Sempat beberapa kali saya dibuat malu ketika berpapasan dengan para guru saya di jalan. Karena beberapa kali mereka lebih dulu mengenali dan menyapa saya. Lengkap dengan keterangan dengan siapa saya berkawan duduk di sekolah dulu.
Sementara saya hanya tersenyum-senyum mati angin seraya mengingat-ingat siapa gerangan nama ibu atau bapak guru yang malang itu.
Ya, sungguh malang.
Sebagai murid, saya sungguh kurang ajar karena tidak mampu mengingat nama orang-orang yang berjasa kepada saya itu.
Betul kata Kafka. Lupa adalah tragedi kemanusiaan yang terbesar.
Sebagai elemen kehidupan, kegagalan tak hanya berderajat untuk tingkat kemudahan diambil hikmahnya juga ia bersifat tak eksak.
Apakah ada rumus eksak bahwa setiap orang yang ditimpa kegagalan terbesar akan lantas menjadi orang besar?
Meski banyak orang bilang "the leaders born out of the crisis", pemimpin itu terlahir dari krisis, jiwa baja kepemimpinan tidak lantas muncul begitu saja bagai mie instan yang siap rebus di kompor. Ia butuh ingredient yang pas untuk tampil tegar.