Mohon tunggu...
Nursalam AR
Nursalam AR Mohon Tunggu... Penerjemah - Penerjemah

Penerjemah dan konsultan bahasa. Pendiri Komunitas Penerjemah Hukum Indonesia (KOPHI) dan grup FB Terjemahan Hukum (Legal Translation). Penulis buku "Kamus High Quality Jomblo" dan kumpulan cerpen "Dongeng Kampung Kecil". Instagram: @bungsalamofficial. Blog: nursalam.wordpress.com.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Madrasah Itu Bernama Ibu

6 Desember 2020   23:38 Diperbarui: 6 Desember 2020   23:55 476
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ibuku (Ulya binti Sayuti) nomor dua dari kanan (berkerudung dan berkebaya) dan aku no. 5 dari kanan (berbaju merah)/Foto: Dokpri

Dalam catatan para ahli sejarah, seorang penyair Arab bernama Hafiz Ibrahim tercatat menggubah sebuah syair tentang ibu. Selarik syair yang kemudian melegenda itu berbunyi: "Al-ummu madrasatul ula, iza a'dadtaha a'dadta sya'ba thayyibal a'raq."

Terjemahan bebasnya: Ibu itu madrasah pertama bagi anaknya. Jika seorang ibu baik maka baik pula anaknya.

Kata "madrasatu" atau "madrosah" yang berasal dari bahasa Arab itu kemudian diserap oleh bahasa Indonesia menjadi "madrasah" yang bermakna "sekolah".

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), "madrasah" didefinisikan sebagai "sekolah atau perguruan (biasanya yang berdasarkan agama Islam)."

Lihatlah diksi atau pilihan kata yang digunakan. Ibu itu madrasah, ibu itu sekolah. Bukan sekadar guru. Apalagi sekadar tukang antar jemput anak ke sekolah.

Tiap kata punya beban makna berbeda, demikian juga dampaknya. Sekaligus juga menyiratkan kebesaran sosok dan sedemikian pentingnya makna sosok seorang ibu bagi anak-anaknya.

Hal itu juga yang tercermin dari pernyataan salah satu Khulafaur Rasyidin (empat khalifah pertama dan utama dalam sejarah Islam), yakni Khalifah Umar bin Khattab, yang menengarai tentang tiga hak anak yang harus dipenuhi ayahnya.

Menurut Khalifah Umar bin Khattab, ketiga hak tersebut adalah (1) hak anak untuk mendapatkan ibu yang baik bagi dirinya; (2) hak anak untuk diberikan nama yang baik (atau bagus maknanya), dan (3) hak anak untuk mendapat pengajaran Al-Qur'an dan hafalan Al-Qur'an (tahfizul qur'an).

Ini artinya, sejak sebelum menikah pun, seorang lelaki (yang kelak akan menjadi ayah) harus mencari calon istri (yang kelak menjadi ibu anak-anaknya) yang baik agar kelak dapat membimbing anak-anak yang kelak akan dilahirkan dari rahimnya.

Alhasil, dalam konsep "ibu sebagai madrasah" tadi, yang tentu saja tidak dapat terlaksana tanpa dukungan dan peran aktif sang ayah, seorang anak akan dibesarkan dan diasuh dalam konsep pendidikan di rumah yang holistik dan paripurna. Terpadu dan tidak parsial.

Bukan hanya pelajaran agama an sich, tetapi juga ilmu duniawi, seperti matematika, fisika, bahasa atau bahkan komputer. Termasuk pelajaran life skill dan tentang kehidupan dan makna hidup.

Ini juga dikuatkan dengan salah satu hadis Nabi Muhammad yang menyatakan bahwa belajar itu sejatinya pembelajaran seumur hidup, "minal mahdi ilal lahdi", dari ayunan hingga liang lahat (baca: kuburan). Atau dalam istilah modern saat ini, life-long education.

Alhasil, dalam konteks itu haruskah sang ibu berpendidikan tinggi agar dapat berperan sebagai madrasah bagi anak-anaknya?

Tidak juga.

Sebagaimana yang dikatakan Rocky Gerung (aktivis prodemokrasi pendiri Sekolah Ilmu Sosial di era 80-an dan juga mantan pengajar filsafat di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia dalam kanal Youtube miliknya bahwa "ijazah itu tidak selalu bermakna bukti kemampuan berpikir; ijazah itu bukti pernah sekolah."

Dalam khazanah bahasa Inggris pun dibedakan antara "studying" (belajar formal di sekolah atau lembaga pendidikan) dan "learning" (belajar nonformal atau informal dalam pengertian yang lebih luas).

Di titik inilah aku teringat betapa besar peran almarhumah ibuku, Ulya binti Haji Sayuti, sebagai madrasah pertama bagi anak-anaknya, terutama aku sebagai anak kelima dari enam bersaudara.

Ibuku yang pendidikan formalnya hanya sampai kelas 5 Sekolah Rakyat (SR), sekarang SD, tidak pernah menganggap remeh pendidikan bagi anak-anaknya.

Barangkali ini juga pengaruh didikan ayahnya, Guru Sayuti, yang termasuk seorang guru agama berpengaruh saat itu.

Sebelum era 70-an, setiap guru agama di Jakarta, terutama di kalangan komunitas Betawi, disebut "Guru". Hingga kemudian tergusur dengan istilah "ustaz".

Sebagai anak ustaz, ibuku sangat menekankan pendidikan agama. Beliau pun menyusul jadwal rutin bagi kami, keenam anaknya.

Setiap subuh, kami, anak-anaknya, wajib bangun dan sholat subuh di masjid. Kemudian bakda subuhan, wajib mengaji. Ibu sendiri yang mengajari kami mengaji, mulai dari alif ba ta hingga Qur'an besar. Yakni, sebutan untuk Al-Qur'an 30 juz.

Selepas subuh, bergiliran mandi pagi untuk persiapan ke sekolah. Setelah mandi dan sarapan, kami berangkat ke sekolah.

Sekolah agama atau madrasah?

Bukan.

Sebagaimana kebiasaan anak-anak Betawi di era 80-an, kami biasa bersekolah dobel.

Pagi (pukul 7 hingga 12 siang), bersekolah di Sekolah Dasar (SD). Biasanya SD negeri, sesuai kemampuan kocek kami sebagai kalangan masyarakat menengah ke bawah. Siangnya, setelah sholat Zuhur dan makan siang, kami bersekolah di Sekolah Arab antara pukul 13.30 -- 17.00).

Sekolah Arab itu sebutan untuk Madrasah Diniyah, yakni madrasah sederajat SD yang khusus mengajarkan pelajaran bahasa Arab dan ilmu agama, seperti Shorof, Muhadatsah, Mufrodat.

Untuk madrasah sederajat SD yang mengajarkan campuran ilmu agama dan ilmu umum disebut Madrasah Ibtidaiyyah. Biasanya madrasah ini jenis ini saat ini diselenggarakan pada pagi hari.

Nah, setelah sholat Maghrib berjamaah di masjid atau langgar atau musholla, kami duduk melingkar mengaji Al-Qur'an pada seorang ustaz hingga tiba azan sholat Isya.

Selepas Isya, biasanya ada pelajaran tambahan Silat Betawi. Ada beragam aliran yang diajarkan, seperti Silat Beksi atau Silat Cingkrik. Demikianlah rutinitasnya selama enam hari sepekan, Senin hingga Sabtu.

Jadi, cukup tepat lagu tema (soundtrack) sinetron Si Doel Anak Sekolahan yang populer di era 2000-an yang mengisahkan seorang anak Betawi yang rajin sholat dan mengaji tapi juga pintar bela diri. Karena demikianlah lumrahnya tradisi komunitas Betawi saat itu.

Dan peran ibuku dalam mengawasi jadwal pembelajaran itu sangat terasa.

Ibuku yang humoris tidak segan-segan mengemposku di paha jika malas bangun untuk subuhan atau membolos ngaji di musholla atau masjid.

Empos itu adalah istilah bahasa Betawi untuk jenis cubitan yang disertai pelintiran memutar. Biasanya dilakukan di paha.

Rasanya? Jangan ditanya betapa sakitnya.

Saat itu aku sering menangis dan menganggap ibuku kejam.

Bertahun-tahun kemudian, seiring usia, barulah aku paham betapa itulah bentuk sayang ibu kepadaku.

Barangkali bentuk hukuman atau teguran fisik itu tidak populer saat ini atau bahkan dikecam kalangan pendidik sekarang. Namun, bentuk ekspresi cinta memang kadang berbeda dan unik. Terutama ekspresi kasih dan sayang seorang ibu kepada anaknya.

Sebagai madrasah bagi anaknya, kasih ibuku terasa betul saat memperjuangkan nasib pendidikan formalku saat di SD.

Sewaktu kecil, aku menderita penyakit kencing batu sejak usia 4 tahun. Konon sebabnya karena aku terlalu banyak mengonsumsi makanan dan minuman yang manis-manis.

Belakangan sakit itu mereda lewat pengobatan herbal. Saat itu keluarga kami tidak punya biaya untuk melakukan operasi. Operasi pengangkatan batu kandung kemih baru bisa dilakukan saat aku di kelas 2 SD atas jasa budi baik seorang kerabat yang dermawan.

Namun, ketika itu, di akhir kelas satu SD, kembali penyakitku bertambah buruk.

Aku tidak bisa keluar rumah dan tidak bisa beraktivitas apa-apa selain berdiam di tempat tidur.

Ibuku pun meminta kebijaksanaan dari sekolah agar aku diberikan dispensasi untuk mengikuti testing di rumah. Itu memang di luar kebiasaan dan peraturan umum sekolah.

Terlebih lagi kami sebagai pihak yang mengajukan bukanlah orang yang berkecukupan, bahkan serba kekurangan. Itu jelas, bagi pihak sekolah, sebuah permintaan yang luar biasa, jika tidak bisa dibilang mengherankan.

Pandangan tersebut tercermin jelas dalam rapat dewan guru yang dipimpin kepala sekolah. Sebagian melecehkan bahkan menyinggung hal-hal lain yang tidak relevan dengan permohonan dari ibuku.

Aku dan ibuku duduk mengikuti rapat tersebut dengan berdebar. Aku merasa bagai pesakitan atau terdakwa saat itu.

Tapi saat itu aku merasakan betapa ibuku, yang tidak tamat SD, punya keberanian besar, yang jelas didorong cinta besarnya, agar anaknya tetap dapat bersekolah. Seburuk apa pun kondisinya.

Aku makin cinta ibuku yang duduk terdiam di sampingku.

Ia yang lugu tampak bersahaja dengan kerudung dan kebaya yang dikenakannya. Aku tahu dalam diamnya ia berdoa untukku. Dan aku tahu aku merasakan cintaku untuknya makin besar semenjak itu.

Lewat bantuan seorang guru yang bersimpati padaku dan ibuku, pihak sekolah mengabulkan permohonan ibu. Hingga akhirnya aku bisa ikut ujian dari rumah, hingga naik kelas dengan selalu masuk rangking tiga besar dan terus berlanjut lulus SD sebagai peraih Nilai Evaluasi Belajar Nasional (Ebtanas) tertinggi di sekolahku.

Ebtanas adalah semacam Ujian Nasional untuk kelulusan sekolah.

Alhamdulillah, sejak SD sampai kuliah, aku selalu berhasil diterima di sekolah negeri sehingga bisa meringankan beban keluargaku yang mana ibuku hanyalah penjual kue dan ayahku montir mobil panggilan.

Sayang ibuku keburu wafat pada 1997 saat aku baru menginjak tahun kedua kuliah di Universitas Indonesia (UI). Sementara ayahku berpulang pada 2006.

Aku belum bisa membalas apa-apa untuk segenap jasa kedua orang tuaku, termasuk jasa ibuku sebagai madrasah pertamaku. Meskipun memang takkan pernah terbalas. Terutama untuk segenap jasa besar ibuku sebagai madrasah pertamaku.

Ah, aku teringat sebuah perkataan bijak dalam salah satu buku yang pernah kubaca,"Kasih sayang anak ketika merawat orang tua takkan pernah dapat menebus kasih sayang orang tua terhadap anak. Orang tua merawat anak ketika kecil hingga dewasa tanpa tahu bagaimana akhirnya kelak apakah sang anak akan membalas budinya atau justru mendurhakainya. Sementara anak merawat orang tua dengan sebuah akhir yang diketahuinya bahwa orang tuanya akan wafat di hari tua."

Jadi jelas nilainya sangatlah berbeda. Kasih orang tua sepanjang hayat, kasih anak sepanjang galah.

Itu jelas dan sangat jelas sebagaimana jelasnya, ketika dalam kesendirian dan kangen pada ibu, aku melafalkan dalam hati dan benakku bahwa madrasah itu bernama Ibu.

Jakarta, 6 Desember 2020

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun