Aku tidak bisa keluar rumah dan tidak bisa beraktivitas apa-apa selain berdiam di tempat tidur.
Ibuku pun meminta kebijaksanaan dari sekolah agar aku diberikan dispensasi untuk mengikuti testing di rumah. Itu memang di luar kebiasaan dan peraturan umum sekolah.
Terlebih lagi kami sebagai pihak yang mengajukan bukanlah orang yang berkecukupan, bahkan serba kekurangan. Itu jelas, bagi pihak sekolah, sebuah permintaan yang luar biasa, jika tidak bisa dibilang mengherankan.
Pandangan tersebut tercermin jelas dalam rapat dewan guru yang dipimpin kepala sekolah. Sebagian melecehkan bahkan menyinggung hal-hal lain yang tidak relevan dengan permohonan dari ibuku.
Aku dan ibuku duduk mengikuti rapat tersebut dengan berdebar. Aku merasa bagai pesakitan atau terdakwa saat itu.
Tapi saat itu aku merasakan betapa ibuku, yang tidak tamat SD, punya keberanian besar, yang jelas didorong cinta besarnya, agar anaknya tetap dapat bersekolah. Seburuk apa pun kondisinya.
Aku makin cinta ibuku yang duduk terdiam di sampingku.
Ia yang lugu tampak bersahaja dengan kerudung dan kebaya yang dikenakannya. Aku tahu dalam diamnya ia berdoa untukku. Dan aku tahu aku merasakan cintaku untuknya makin besar semenjak itu.
Lewat bantuan seorang guru yang bersimpati padaku dan ibuku, pihak sekolah mengabulkan permohonan ibu. Hingga akhirnya aku bisa ikut ujian dari rumah, hingga naik kelas dengan selalu masuk rangking tiga besar dan terus berlanjut lulus SD sebagai peraih Nilai Evaluasi Belajar Nasional (Ebtanas) tertinggi di sekolahku.
Ebtanas adalah semacam Ujian Nasional untuk kelulusan sekolah.
Alhamdulillah, sejak SD sampai kuliah, aku selalu berhasil diterima di sekolah negeri sehingga bisa meringankan beban keluargaku yang mana ibuku hanyalah penjual kue dan ayahku montir mobil panggilan.