Bukan hanya pelajaran agama an sich, tetapi juga ilmu duniawi, seperti matematika, fisika, bahasa atau bahkan komputer. Termasuk pelajaran life skill dan tentang kehidupan dan makna hidup.
Ini juga dikuatkan dengan salah satu hadis Nabi Muhammad yang menyatakan bahwa belajar itu sejatinya pembelajaran seumur hidup, "minal mahdi ilal lahdi", dari ayunan hingga liang lahat (baca: kuburan). Atau dalam istilah modern saat ini, life-long education.
Alhasil, dalam konteks itu haruskah sang ibu berpendidikan tinggi agar dapat berperan sebagai madrasah bagi anak-anaknya?
Tidak juga.
Sebagaimana yang dikatakan Rocky Gerung (aktivis prodemokrasi pendiri Sekolah Ilmu Sosial di era 80-an dan juga mantan pengajar filsafat di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia dalam kanal Youtube miliknya bahwa "ijazah itu tidak selalu bermakna bukti kemampuan berpikir; ijazah itu bukti pernah sekolah."
Dalam khazanah bahasa Inggris pun dibedakan antara "studying" (belajar formal di sekolah atau lembaga pendidikan) dan "learning" (belajar nonformal atau informal dalam pengertian yang lebih luas).
Di titik inilah aku teringat betapa besar peran almarhumah ibuku, Ulya binti Haji Sayuti, sebagai madrasah pertama bagi anak-anaknya, terutama aku sebagai anak kelima dari enam bersaudara.
Ibuku yang pendidikan formalnya hanya sampai kelas 5 Sekolah Rakyat (SR), sekarang SD, tidak pernah menganggap remeh pendidikan bagi anak-anaknya.
Barangkali ini juga pengaruh didikan ayahnya, Guru Sayuti, yang termasuk seorang guru agama berpengaruh saat itu.
Sebelum era 70-an, setiap guru agama di Jakarta, terutama di kalangan komunitas Betawi, disebut "Guru". Hingga kemudian tergusur dengan istilah "ustaz".
Sebagai anak ustaz, ibuku sangat menekankan pendidikan agama. Beliau pun menyusul jadwal rutin bagi kami, keenam anaknya.