Dan peran ibuku dalam mengawasi jadwal pembelajaran itu sangat terasa.
Ibuku yang humoris tidak segan-segan mengemposku di paha jika malas bangun untuk subuhan atau membolos ngaji di musholla atau masjid.
Empos itu adalah istilah bahasa Betawi untuk jenis cubitan yang disertai pelintiran memutar. Biasanya dilakukan di paha.
Rasanya? Jangan ditanya betapa sakitnya.
Saat itu aku sering menangis dan menganggap ibuku kejam.
Bertahun-tahun kemudian, seiring usia, barulah aku paham betapa itulah bentuk sayang ibu kepadaku.
Barangkali bentuk hukuman atau teguran fisik itu tidak populer saat ini atau bahkan dikecam kalangan pendidik sekarang. Namun, bentuk ekspresi cinta memang kadang berbeda dan unik. Terutama ekspresi kasih dan sayang seorang ibu kepada anaknya.
Sebagai madrasah bagi anaknya, kasih ibuku terasa betul saat memperjuangkan nasib pendidikan formalku saat di SD.
Sewaktu kecil, aku menderita penyakit kencing batu sejak usia 4 tahun. Konon sebabnya karena aku terlalu banyak mengonsumsi makanan dan minuman yang manis-manis.
Belakangan sakit itu mereda lewat pengobatan herbal. Saat itu keluarga kami tidak punya biaya untuk melakukan operasi. Operasi pengangkatan batu kandung kemih baru bisa dilakukan saat aku di kelas 2 SD atas jasa budi baik seorang kerabat yang dermawan.
Namun, ketika itu, di akhir kelas satu SD, kembali penyakitku bertambah buruk.