Mohon tunggu...
Nursalam AR
Nursalam AR Mohon Tunggu... Penerjemah - Penerjemah

Penerjemah dan konsultan bahasa. Pendiri Komunitas Penerjemah Hukum Indonesia (KOPHI) dan grup FB Terjemahan Hukum (Legal Translation). Penulis buku "Kamus High Quality Jomblo" dan kumpulan cerpen "Dongeng Kampung Kecil". Instagram: @bungsalamofficial. Blog: nursalam.wordpress.com.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

AHY Gaet Putri Ma'ruf Amin, Strategi atau Terkooptasi?

30 April 2020   23:48 Diperbarui: 1 Mei 2020   01:21 1336
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Poster AHY sebagai ketua umum Partai Demokrat yang baru/Sumber: metrobali.com

Genap dua pekan sudah Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), putera sulung mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, "bersanding" dengan Siti Nur Azizah, puteri keempat Wakil Presiden Kyai Haji Ma'ruf Amin. Bukan sebagai pasangan suami istri, tetapi sebagai tandem politik.

Ya, sebagai ketua umum Partai Demokrat yang baru, menggantikan ayahnya, AHY sigap menggaet Siti Nur Azizah, yang mantan Aparatur Sipil Negara (ASN) Kementerian Agama, sebagai Wakil Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Demokrat periode 2020-2025 per 16 April 2020.

Tak bisa dielakkan, penunjukan itu tentu terkait erat dengan rencana Azizah, panggilan akrab Siti Nur Azizah, untuk berlaga di pemilihan kepala daerah (pilkada) Wali Kota Tangerang Selatan yang sedianya digelar pada September 2020.

Tentu saja sebagai rookie alias pendatang baru di dunia politik, selepas pengabdiannya selama belasan tahun sebagai birokrat negara yang berakhir pada 2019, Siti Nur Azizah tidak dibiarkan sendirian.

Sebagai Wasekjen yang bertugas membantu kerja Sekjen Teuku Rifky Harsya, Azizah didampingi sembilan wasekjen lainnya, antara lain Jansen Sitindaon dan Inggrid Kansil (mantan artis ibu kota dan juga istri mantan Menteri Koperasi dan UMKM Syarief Hasan yang kini Wakil Ketua MPR-RI).

Siti Nur Azizah, puteri keempat KH. Ma'ruf Amin, yang menjabat Wasekjen Partai Demokrat/Sumber: kumparan.com
Siti Nur Azizah, puteri keempat KH. Ma'ruf Amin, yang menjabat Wasekjen Partai Demokrat/Sumber: kumparan.com

Tampaknya pilihan Partai Demokrat sebagai "tempat magang politik" bagi Siti Nur Azizah, yang sejak 2019 bersuamikan seorang anggota DPR-RI asal Sulawesi Selatan dari Partai Nasional Demokrat (Nasdem), bukan tanpa alasan.

Dari sekian banyak pinangan partai politik lainnya, Azizah kesengsem dengan pesona AHY, figur ketua umum Demokrat yang mantan militer, yang bukan hanya gagah dan tampan, tetapi juga intelek sebagai jebolan beberapa universitas bergengsi di Amerika Serikat.

"Hingga akhirnya saya mencermati terjadi adanya sebuah perhelatan besar partai politik yang menetapkan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), seorang anak muda menjadi ketua umum," kata Azizah sebagaimana dikutip oleh Tempo.

Memilih Partai Demokrat, menurut Azizah, adalah bagian dari kesadaran sejarah untuk mendukung kaum muda maju dan berperan di gelanggang politik. Di samping itu, masih menurut istri Muhammad Rapsel Ali itu, Partai Demokrat adalah partai parlemen dengan ketua umum termuda se-Indonesia. Saat ini AHY memang masih berusia 42 tahun.

Di mata perempuan berusia 47 tahun itu, Partai Demokrat telah mengambil langkah nyata memberi peran signifikan untuk anak-anak muda, dan juga menarik karena berlatar belakang ulama, sehingga memiliki garis ideologi nasionalis-religius.

Secara personal, faktor terakhir itu tampaknya klop dengan latar belakang Azizah yang keturunan ulama besar Syaikh Nawawi Al-Bantani dan juga mantan aktivis Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), yang merupakan ounderbouw organisasi ulama terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU).

Baca Juga: Larangan Mudik Tanpa Fatwa MUI, Efektifkah?

Narasi "pergerakan anak muda"

Narasi "pergerakan anak muda" yang diusung oleh Siti Nur Azizah dalam menghadapi kontestasi pilkada Wali Kota Tangsel itulah yang mendorongnya mendekati Fahd Fahdepie (usia 34 tahun), seorang penulis milenial dan pebisnis start-up yang juga mantan tenaga ahli termuda di lingkaran Jokowi, yang disebut-sebut berambisi maju menjadi wali kota Tangsel menggantikan Airin Rachmi Diany, sang ipar Atut Chosiyah dari klan penguasa Banten Raya, yang telah menjabat dua periode.

Pertemuan keduanya pada awal Maret 2020 yang konon santer disebut sebagai "konsolidasi gerbong Istana" itu kabarnya merupakan pertemuan awal untuk penjajakan penggabungan kekuatan Azizah-Fahd dalam pilkada Tangsel nanti.

Fahd Fahdepie sendiri, yang alumnus pesantren dan mantan peneliti LIPI, mengatakan bahwa pertemuan itu merupakan bentuk silaturahim dan komunikasi politik yang wajar.

Dalam postingan di akun media sosialnya, Fahd menulis, "Pagi ini berdiskusi panjang dengan Bu Siti Nur Azizah Ma'ruf di kediamannya. Kami berbicara tentang masa lalu, masa kini, dan masa yang akan datang. Kontribusi apa yang bisa kita berikan untuk republik ini. Dari skala yang masing-masing bisa kita jangkau sejak hari ini."

Narasi "anak muda" itu juga yang menjadi magnet bagi partai-partai berbasis anak muda, seperti Partai Solidaritas Indonesia (PSI) dan Partai Gelombang Rakyat Indonesia (Gelora), yang merupakan sempalan Partai Keadilan Sejahtera (PKS),  untuk segera merapat pada bahtera Azizah sejak awal 2019. Tentu ada juga narasi ambisi kekuasaan di dalamnya, suatu hal yang kelewat naif jika diabaikan.

Bahkan dukungan untuk Azizah sebagai wali kota Tangsel, menurut kader Gelora Subhkan AS, disampaikan langsung oleh Ketua Umum Gelora Anies Matta dan Sekretaris Umum Fachri Hamzah.

Menurut Subhkan, puteri Wapres Ma'ruf Amin tersebut dinilai sosok yang visioner yang mampu menjabarkan persoalan dan memberikan solusi.

"Jumlah pengangguran di Tangsel sangat mengkhawatirkan, karena mereka usia produktif. Butuh kebijakan yang kreatif. Ibu Azizah mampu memahami persoalan itu serta menawarkan solusi yang segaris dengan perjuangan kami. Itulah salah satu alasan rasional kami mendukung beliau," jelas Sekretaris Umum Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Partai Gelora Tangsel tersebut.

Untuk itu, Partai Gelora bertekad all-out memenangkan Siti Nur Azizah sebagai wali kota Tangsel periode 2021-2026.

"Hampir 60 persen kader kami yang eks-PKS itu mereka yang selama ini menjadi mesin penggerak partai. Basis-basis massa kami sangat riil dari berbagai kalangan hingga tingkat akar rumput. Kami sangat optimis, mesin partai ini bisa menghantarkan Ibu Azizah menjadi wali kota Tangsel," ujar Subhkan.

Itu dari sisi Azizah. Lantas, bagaimana dari sisi AHY dan Partai Demokrat?

Anatomi Partai Demokrat

Pada awal kehadirannya, Partai Demokrat merupakan fenomena baru dalam dunia perpolitikan Indonesia. Betapa tidak. Sepanjang sejarah republik ini, baru kali itu ada partai politik yang ruh dan ideologinya benar-benar bertumpu pada figur sentral seorang tokoh.

Ketika pada pemilu 2004 para pengamat menjuluki Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Demokrat sebagai the rising stars dengan raihan suara 7-8 persen, yang menempatkan kedua partai baru tersebut dalam posisi elite politik Indonesia, sejatinya hanya PKS (yang berasaskan Islam dan memiliki semangat perjuangan dakwah Masyumi) yang mewarisi konstelasi perpolitikan tradisional Indonesia.

Partai Demokrat, dari sisi ideologi atau basis sosial, adalah fenomena baru yang merupakan anomali sejak pemilu pertama RI pada 1955.

Meskipun Partai Demokrat dalam berbagai kesempatan selalu menyatakan sebagai partai tengah yang berideologi nasionalisme-religius, sejatinya ideologi partai berlambang bintang Mercy ini hanya satu yakni (popularitas) SBY alias Susilo Bambang Yudhoyono, sang pendiri dan Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat, kemudian menjadi Ketua Umum Partai, yang menjadi Presiden Republik Indonesia periode 2004-2014.

Soekarno semasa menjabat Presiden RI yang pertama -- kendati tercatat sebagai pendiri dan tokoh penting PNI (Partai Nasional Indonesia) -- tidak pernah menyatakan secara tegas keterkaitannya dengan partai nasionalis terbesar di Indonesia pasca-kemerdekaan tersebut.

PNI juga mengusung ideologi Marhaenisme, yang menekankan keberpihakan kepada rakyat kecil, yang diambil dari nama seorang petani gurem yang ditemui Soekarno di daerah Jawa Barat. Konon ideologi ini diadaptasi Soekarno dari teori Marxisme yang disesuaikan dengan kondisi Indonesia. Dan basis sosial PNI (sekaligus pendukung utama Soekarno) adalah kalangan nasionalis.

Soeharto sebagai presiden kedua RI, yang juga menempatkan diri sebagai Ketua Dewan Pembina Golkar, terkesan lebih lihai menjaga jarak antara posisi kepresidenannya dengan (Sekber) Golkar sebagai kekuatan politik yang menggabungkan unsur birokrat, militer (ABRI saat itu) dan kalangan profesional.

Ideologi yang diusung entitas politik yang dulu emoh disebut 'parpol' adalah pembangunan dan kekaryaan. Dengan demikian basis sosial Golkar (yang kemudian bersalin rupa sebagai Partai Golkar) yang dibangun trah Cendana juga lebih jelas dan berakar.

Presiden-presiden selanjutnya pun serupa, memiliki basis sosial dan ideologi yang jelas. Habibie (Golkar), Megawati (PDI-P yang merupakan partai nasionalis sebagai reinkarnasi PNI), Abdurrahman Wahid atau Gus Dur (kalangan Islam NU).

Tak heran, meskipun Soekarno atau Soeharto jatuh karena pergolakan sosial, nasib mereka tak senista rezim Tsar Rusia yang dibantai habis dan segala hal yang berhubungan dengan mereka dibabat habis.

Demikian juga saat Megawati atau Gus Dur didemo, ada saja kalangan nasionalis atau Nahdliyyin yang berani pasang badan bahkan berani mati demi membela mereka.

Di satu sisi, dengan uraian di atas, layak diacungkan jempol kepada SBY dan Partai Demokrat atas terobosan bersejarah mereka dalam kancah perpolitikan nasional (lewat kampanye pencitraan yang hebat dan 'operasi senyap' yang gemilang) yang membuktikan bahwa seseorang tanpa basis sosial atau basis ideologi yang kuat pun bisa jadi presiden. Suatu pola yang harus diakui ditiru Jokowi dalam perjalanannya menuju takhta RI-1.

Dan memang Partai Demokrat -- menurut keterangan di situs resmi partainya -- dibangun oleh para fans SBY (Vence Rumangkang, Sys Ns, Irzan Tanjung, dll) sebagai "tombo ati" atau obat hati bagi SBY yang saat itu dikalahkan Hamzah Haz dalam pemilihan wakil presiden di MPR pada Juli 2001, sehingga ketua umum PPP itulah yang kemudian mendampingi Presiden Megawati Soekarnoputri selepas mundurnya Presiden Abdurrahman Wahid.

Alhasil, disiapkanlah pelipur lara bagi sang jenderal yakni kendaraan politik istimewa bernama Partai Demokrat yang mengusung SBY sebagai calon presiden pada pemilu 2004. Dengan demikian, tak lain tak bukan Partai Demokrat sejatinya pada awalnya adalah kumpulan para fans SBY. Dan ini pun ditiru oleh rival Jokowi yakni Prabowo Soebianto, yang juga rekan seangkatan SBY di Akmil TNI, dengan mendirikan Partai Gerindra selepas kekalahannya di konvensi Partai Golkar jelang pilpres 2004.

Di sisi lain, andaikan selama era kepresidenan SBY yang terjadi adalah skenario terburuk yakni revolusi sosial, apakah saat itu bisa dijamin kekuatan politik dan sosial yang ada dapat menjadi bantalan yang aman dan nyaman bagi SBY, Partai Demokrat dan keluarga Cikeas?

Nasionalis tak jelas, Muhammadiyah bukan, apalagi NU. Militer? Kalangan militer pun tak satu padu menyikapi kebijakan-kebijakan SBY. Terbukti dengan pernyataan-pernyataan kalangan purnawirawan yang kerap berseberangan dengan SBY pada saat itu.

Alhasil, dengan meneropong basis sosial dan ideologi SBY, terang benderanglah seperti apa anatomi Partai Demokrat. Yakni figur partai yang tak berakar (tanpa basis sosial kultural) dan berideologi pragmatis, yakni popularitas SBY.

Di ujung era kekuasaannya, popularitas SBY, yang berimbas pada popularitas Demokrat, kian mengempis, ditusuk kasus korupsi Nazaruddin dan kasus-kasus lainnya.

Strategi SBY yang merangkul seluruh kawan dan lawan tanpa kecuali hingga terkesan menjadikan Partai Demokrat sebagai bunker koruptor dan orang-orang bermasalah atau pelarian politik, sebut saja Ruhut Sitompul dari Golkar atau Zaenal Ma'arif dari PBR, Anas Urbaningrum dan Andi Nurpati dari KPU, kemudian bagaikan bumerang yang berbalik menghantam dirinya dan partainya.

Sejarah juga mencatat Ruhut menyeberang dan berbalik menyerang sang guru besarnya, terutama ketika pamor SBY memudar selepas masa kepresidenannya, seiring naiknya Jokowi sebagai presiden RI.

Demikian juga Anas Urbaningrum, mantan ketua umum partai, yang terjerat kasus korupsi dan mendekam di penjara, setelah sebelumnya juga berseteru dengan SBY.

Tinggallah sang nakhoda SBY, yang boleh diakui belajar dengan cukup baik dari mendiang Soeharto untuk strategi politik dan pencitraan namun naasnya tak didukung operator politik yang andal sekaliber Ali Moertopo dan Harmoko di zaman Orde Baru, yang harus berjuang sendiri dan dituntut lihai bermanuver untuk menyelamatkan perahu Demokrat yang terancam karam di kala itu.

Para penumpang yang notabene adalah barisan fans, yang keterikatan emosional dan loyalitasnya jelas berbeda dengan aktivis, jelas tak mungkin diandalkan untuk pasang badan atau menderita demi sang idola yang saat itu mulai pudar pamornya. Suatu hal yang juga layak direnungkan oleh Jokowi yang kini ramai dikerumuni barisan relawannya.

Apa pun tafsir politiknya, waktu, publik dan sejarahlah yang kemudian mencatat dinamika di tubuh Partai Demokrat saat itu hingga kini ketika akhirnya SBY menyerahkan tampuk kepemimpinan Partai Demokrat kepada AHY, yang notabene putera sulungnya, yang juga mengikuti jejaknya meniti karier kemiliteran.

Baca Juga: Saat Politisi "Membunuh" KBBI

Strategi atau terkooptasi?

Zaman telah berganti. SBY bukan lagi presiden; Partai Demokrat pun tak lagi berkuasa. Kini eranya Jokowi dan kubu Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang memimpin, sebagai buah dari kesabaran mereka menjadi oposisi selama sepuluh tahun atau selama dua periode masa jabatan SBY yang juga pendiri dan pemimpin Partai Demokrat.

Kini ketika tongkat kepemimpinan partai beralih dari ayah ke anak, dari SBY ke AHY, tidak lantas pola manuver politik sang ayah harus ditiru mentah-mentah oleh AHY.

Toh, tiap zaman dan tiap era kepemimpinan punya masalahnya masing-masing, yang belum tentu bisa diselesaikan dengan pendekatan yang sama di masa lampau.

Sebagai pemimpin partai non-penguasa, yang juga enggan menyatakan diri sebagai oposan, AHY, yang juga menantu mantan deputi gubernur Bank Indonesia Aulia Pohan, yang menempuh jalur politik kompromistis dan akomodatif tampaknya cenderung berstrategi merapat pada lingkaran kekuasaan Jokowi. Terutama sejak Prabowo Soebianto, jagoan yang diusung Demokrat dan partai lainnya pada pilpres 2019, kembali dikalahkan Jokowi untuk kedua kalinya.

Dengan anatomi partai sebagaimana dibahas di atas (tanpa figur sekokoh SBY, Megawati atau Prabowo dan tanpa kader ideologis semilitan PKS dan PDIP), agak mustahil Partai Demokrat tegas mendeklarasikan diri sebagai oposisi, sebagaimana yang lantang disuarakan oleh PKS.

Sebagaimana petuah Sun Tzu, sang panglima perang legendaris Tionghoa, jika tidak kuat bertarung, untuk menghemat tenaga, maka rangkullah lawanmu, tampaknya itulah yang dilakukan oleh AHY dan Partai Demokrat saat ini. Mereka membuka pintu lebar-lebar bagi seorang Siti Nur Azizah yang mengusung "mantera milenial" dan narasi anak muda yang juga merupakan salah satu keunggulan komparatif AHY.

Namun, tidak dinafikan adanya pengaruh karisma seorang Ma'ruf Amin yang turut berperan di balik semua itu. Tak heran wacana Ma'ruf-AHY pada pilpres 2024 ikut mencuat seiring penunjukan Azizah sebagai Wasekjen Demokrat.

Sebagai orang baru yang masih hijau akan dunia politik, Azizah tentu beruntung mendapatkan tempat pemagangan politik yang mungkin nyaman baginya.

Lantas apa keuntungan AHY dan Partai Demokrat menampung Azizah? Toh, dalam politik ada adagium "who can get what", siapa dapat apa.

Pertanyaan selanjutnya, apakah itu strategi AHY sebagai ketua umum baru Partai Demokrat atau justru Partai Demokrat yang terkooptasi oleh lingkar kekuasaan?

Mengingat konstruksi anatomi Partai Demokrat yang sedemikian rupa, setidaknya, bagi Demokrat, sosok Ma'ruf Amin dapatlah diharapkan menjadi pendongkrak elektabilitas mereka. 

Sekalipun hal itu mungkin terlihat agak jauh panggang dari api, karena Ma'ruf Amin notabene lebih lekat dan dekat dengan partai-partai berbasis NU, seperti PKB dan PPP, sebagaimana basis sosialnya yang orang pesantren Nahdliyyin.

Tapi, bukankah tiada rotan akar pun jadi?

Jika pun tidak mendongkrak elektabilitas di pilkada atau pilpres mendatang, sebagaimana bandwagon effect, sosok pak kyai minimal dapat dijadikan "cantelan" pada lingkaran kekuasaan, setelah pendekatan AHY pada Jokowi pasca-pilpres 2019 terkendala "trauma masa lalu" antara SBY dan Megawati yang juga bos partainya Jokowi. Dan fenomena Siti Nur Azizah dapat dibaca sebagai anak tangga pertama menuju tujuan tersebut.

Toh, Bung Karno pernah berkata, "Bercita-citalah setinggi langit; jika pun engkau gagal, engkau akan jatuh di antara bintang-bintang."

Alhasil, apakah itu strategi atau terkooptasi?

Pertanyaan itu menjadi tidak relevan lagi, karena tampaknya AHY dan Partai Demokrat cukup "menikmati" kedua opsi tersebut. Kendati mungkin agak mengesampingkan ekspektasi publik atau konstituen yang cenderung menginginkan Partai Demokrat di era AHY lebih tegas bersikap, tidak seperti Partai Demokrat di era SBY yang cenderung "abu-abu".

Dan dalam rangka mengendalikan panser Partai Demokrat menjelajahi hutan rimba perpolitikan nasional, sang mayor AHY dituntut lebih cergas dan inovatif dalam hal-hal yang bersifat major matters. 

Tidak sekadar menjalani tugas keseharian eksekutif kepartaian yang cenderung bersifat general matters, karena ia toh bukanlah pensiunan jenderal seperti ayahnya, SBY, yang relatif lebih berhati-hati.

Jakarta, 30 April 2020

Referensi: 1 2 3 4

Baca Juga: Saat Napi Asimilasi Berulah Lagi, Apa Kata Yasonna Laoly?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun