Toh, tiap zaman dan tiap era kepemimpinan punya masalahnya masing-masing, yang belum tentu bisa diselesaikan dengan pendekatan yang sama di masa lampau.
Sebagai pemimpin partai non-penguasa, yang juga enggan menyatakan diri sebagai oposan, AHY, yang juga menantu mantan deputi gubernur Bank Indonesia Aulia Pohan, yang menempuh jalur politik kompromistis dan akomodatif tampaknya cenderung berstrategi merapat pada lingkaran kekuasaan Jokowi. Terutama sejak Prabowo Soebianto, jagoan yang diusung Demokrat dan partai lainnya pada pilpres 2019, kembali dikalahkan Jokowi untuk kedua kalinya.
Dengan anatomi partai sebagaimana dibahas di atas (tanpa figur sekokoh SBY, Megawati atau Prabowo dan tanpa kader ideologis semilitan PKS dan PDIP), agak mustahil Partai Demokrat tegas mendeklarasikan diri sebagai oposisi, sebagaimana yang lantang disuarakan oleh PKS.
Sebagaimana petuah Sun Tzu, sang panglima perang legendaris Tionghoa, jika tidak kuat bertarung, untuk menghemat tenaga, maka rangkullah lawanmu, tampaknya itulah yang dilakukan oleh AHY dan Partai Demokrat saat ini. Mereka membuka pintu lebar-lebar bagi seorang Siti Nur Azizah yang mengusung "mantera milenial" dan narasi anak muda yang juga merupakan salah satu keunggulan komparatif AHY.
Namun, tidak dinafikan adanya pengaruh karisma seorang Ma'ruf Amin yang turut berperan di balik semua itu. Tak heran wacana Ma'ruf-AHY pada pilpres 2024 ikut mencuat seiring penunjukan Azizah sebagai Wasekjen Demokrat.
Sebagai orang baru yang masih hijau akan dunia politik, Azizah tentu beruntung mendapatkan tempat pemagangan politik yang mungkin nyaman baginya.
Lantas apa keuntungan AHY dan Partai Demokrat menampung Azizah? Toh, dalam politik ada adagium "who can get what", siapa dapat apa.
Pertanyaan selanjutnya, apakah itu strategi AHY sebagai ketua umum baru Partai Demokrat atau justru Partai Demokrat yang terkooptasi oleh lingkar kekuasaan?
Mengingat konstruksi anatomi Partai Demokrat yang sedemikian rupa, setidaknya, bagi Demokrat, sosok Ma'ruf Amin dapatlah diharapkan menjadi pendongkrak elektabilitas mereka.Â
Sekalipun hal itu mungkin terlihat agak jauh panggang dari api, karena Ma'ruf Amin notabene lebih lekat dan dekat dengan partai-partai berbasis NU, seperti PKB dan PPP, sebagaimana basis sosialnya yang orang pesantren Nahdliyyin.
Tapi, bukankah tiada rotan akar pun jadi?
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!