Namun, ternyata KBBI, setidaknya berdasarkan KBBI edisi keempat, menetapkan kata “debet” sebagai bentuk tidak baku atau non-baku. Sementara versi bakunya adalah “debit”, termasuk kata turunannya yakni "pendebitan" alih-alih "pendebetan".
Rupanya telah terjadi pergeseran orientasi bahasa acuan.
Kata “debet” dan “kredit” dalam bahasa Indonesia pada awalnya diserap dari bahasa Belanda yakni “debet” dan “krediet”. Hal itu terkonfirmasikan berdasarkan Kamus Umum Belanda Indonesia yang disusun oleh Prof. Drs. S. Wojowasito (penerbit PT Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1999).
Namun, seiring waktu, karena perkembangan bahasa Inggris sebagai bahasa internasional utama yang sangat masif dan agresif, bahasa Belanda yang awalnya menjadi acuan bagi sebagian kata dalam KBBI pun tergusur.
Termasuk atas kata “debet” yang dialihkan orientasinya menjadi mengacu pada kata “debit” dalam bahasa Inggris yang definisinya adalah “account entry of a payment or debt; record as a debt” (Webster’s American English Dictionary).
Alhasil, jika standar acuan berubah, maka segalanya juga akan berubah. Maka “debet” pun tersingkir sebagai kata baku, dan “debit” naik takhta sebagai pertanda kedigjayaan serapan bahasa Inggris.
Saat ini menurut KBBI, yang baku adalah “debit” dan “kredit” yang mengacu pada kata-kata bahasa Inggris yakni "debit" dan "credit".
Tak heran belakangan muncul kata “kartu debit” alih-alih “kartu debet”. Kendati dalam praktik keseharian kalangan praktisi, tetap saja yang digunakan adalah “debet” dan “kredit”.
Ketidaksinkronan yang tidak perlu akibat inkonsistensi inilah yang tampaknya perlu diperhatikan secara serius oleh Pusat Bahasa sebagai lembaga yang berwenang menerbitkan KBBI sebagai acuan standar perkamusan bahasa Indonesia di negeri tercinta ini.
Aspek kelaziman berbahasa dan juga faktor sosio-kultural masyarakat Indonesia sebagai pengguna bahasa Indonesia juga perlu diperhatikan oleh Pusat Bahasa dan Tim Penyusun KBBI tinimbang bereksperimen menciptakan kata-kata baru yang terkadang hanya berjejal memadati kamus besar tersebut, tanpa banyak digunakan atau bahkan untuk sekadar dikenal atau diketahui oleh masyarakat umum.
Kata “sangkil dan mangkus” adalah contoh paling populer suatu kata kreasi baru yang jelas-jelas tidak laku, karena kalah bersaing dengan kata “efektif dan efisien” yang sudah sejak lama diserap dari bahasa Belanda, yakni “effectief” dan “efficiency”.