Jika bahasa Indonesia menerjemahkannya menjadi “(ke)tik” dan “pengetikan”, bahasa Melayu Malaysia memilih menyerapnya menjadi “taip” dan “penaipan”.
Namun, KBBI melanggar prinsipnya sendiri ketika turut memasukkan kata “haiking” sebagai padanan untuk kata “hiking” dalam bahasa Inggris yang didefinisikan sebagai “menjelajah; mendaki gunung”. Padahal dalam KBBI sendiri sudah ada padanan yang cukup indah, yakni “kelana alam”.
Demikian juga ketika KBBI memasukkan kata “twit” untuk padanan “tweet” yang biasa digunakan oleh para tweps (pengguna aplikasi medsos Twitter) untuk unggahan status atau komentar di aplikasi berlogo burung biru tersebut.
Padahal “cuitan” atau “kicauan” yang lebih mengindonesia sudah cukup lazim dan banyak digunakan serta populer di kalangan media dan jurnalis di Indonesia.
Jika inkonsistensi tersebut terus terjadi, kelak tak mustahil kita akan temui kata “onlen” dan “translet” di KBBI untuk padanan “online” dan “translate”. Meskipun sudah ada padanannya yang memadai, yakni “daring” atau “dalam jaringan” dan “menerjemahkan”.
Ini pun sudah ada presedennya, yakni dimasukkannya kata "diler" dengan pengertian "pedagang penyalur" untuk padanan "dealer" kendati sudah ada kata "penyalur".
Di samping itu, juga terdapat inkonsistensi prinsip pembentukan kata. Contohnya adalah lema “punya” yang pada KBBI edisi kedua sempat ditetapkan versi verba bakunya adalah “memunyai” alih-alih “mempunyai” untuk pengertian “memiliki”.
Namun, pada akhirnya, setelah ramai diperdebatkan di kalangan praktisi bahasa dan linguis, pada KBBI edisi ketiga, kembali direvisi menjadi “mempunyai” sebagaimana yang sudah lazim dikenal dan digunakan masyarakat umum sejak dahulu kala.
Tidak sampai di situ saja. Inkonsistensi pun terjadi dalam pengorientasian bahasa acuan.
Ambil contoh kata “debet” dalam konteks istilah keuangan atau akuntansi.
Para pengguna bahasa Indonesia, terutama kalangan praktisi akuntansi, lazim menggunakan pasangan kata “debet” dan “kredit”.