Alhasil, alih-alih mengimbau untuk tunduk sepenuhnya pada KBBI, saya cenderung mengajak untuk lebih bersikap kritis pada KBBI.
Mengapa harus mengkritisi KBBI?
Ini sebetulnya jawaban atas pertanyaan besar di awal, yang juga judul utama tulisan ini, yakni “Haruskah fanatik pada KBBI?”
Tidak, itulah jawaban tegasnya.
Justru kita sebagai masyarakat pengguna bahasa Indonesia harus lebih bersikap kritis terhadap KBBI, dalam artian tidak lekas percaya dan tajam menganalisis dengan dasar pertimbangan yang rasional dan argumentatif.
Mengapa?
Pertama, KBBI adalah produk aturan manusia, bukan kitab suci ciptaan Tuhan.
Sebagai suatu bentuk aturan buatan manusia, haknya adalah dipatuhi, tapi dengan kritisisme yang berdasar dan rasional serta bertanggung jawab, alih-alih ketaatan buta tanpa pandang situasi kondisi dan latar belakang masalah.
Kedua, inkonsistensi prinsip penyusunan KBBI.
Kamus Dewan (semacam KBBI versi Malaysia) menyerap suatu kata bahasa asing dengan mengacu pada bentuk pelafalan bunyi kata tersebut. Sementara KBBI, sebagaimana aturan bahasa Indonesia untuk penyerapan suatu kata asing berdasarkan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI) atau yang dahulu dikenal sebagai Ejaan Yang Disempurnakan (EYD), cenderung menyerap berdasarkan pengertian konsep atau makna atas suatu kata.
Contohnya, kata “type” dalam bahasa Inggris.