Mata gue perlahan berkaca-kaca. Terutama saat melihat Dimas berdiri mematung di pintu kamar gue. Tapi itu seperti bukan Dimas. Dia.. terlalu rapi.. Eh, rambutnya dipotong juga? Rambut gondrongnya kini berganti menjadi potongan yang biasa. Yang agak memahasiswa. Gaya acak-acakannya masih ada.
“Kamu sudah sadar?” tanyanya lembut. Ia lalu meletakkan kantong plastik yang dibawanya dan meletakkannya di atas meja. Dimas lalu duduk si sebelah gue.
“Rambut lo.. kenapa?” Gue menunjuk kepalanya.
“Oh iya. Kan kamu belum siuman sejak kemarin. Jadi aku curi waktu untuk memperbaiki penampilan,” Dimas mengacak-acak rambutnya. “Masa kamu melihatku dalam keadaan hancur begini..”
Gue memandangi ponsel. Masih menyala. Lalu mendekatkannya ke telinga.
“Halo, Rena? Dimas ada di sana, ya?”
Gue mematikan ponsel sepihak. Dimas menatap gue tidak mengerti.
“Apa elo.. pernah ngobrol sama bokap gue?”
Dimas mengangguk.
“Apa yang bokap gue bilang... bener?” Apa elo melamar gue, Dit? Tapi, kok bisa??
Dimas mengangguk lagi. “Iya... tapi, aku yang belum siap ngomong sama kamu. Tapi percayalah, aku tulus. Dan kalau kamu menolakku untuk mencari yang lebih baik, tidak apa-apa. Aku akan menunggu sampai kamu mau denganku.”