“Dan kalau gue gak bakalan mau?” tanya gue menguji. “Sampai kapan elo mau menunggu gue?”
“Yang aku percaya, setiap usaha ada hasilnya,” jawabnya santai. “Dan apapun jawabanmu, aku tetap akan bersilaturrahmi denganmu dan om Satria sampai kapanpun kok.”
Gue berkaca-kaca. Ya ampun, gue memang bodoh. Kenapa gue sibuk mempertanyakan status kejombloan gue.. kalau ternyata selama ini ada yang mencintai gue? Dan ternyata, temen gue sendiri! Gue kemana aja selama ini?
Dan dia...
Dia....
Dia rela menjomblo bertahun-tahun karena nungguin gue? Jadi selama ini sebenarnya dia juga menjaga gue?
Gue jadi ingat masa silam gue. Masa-masa SMA, lulus bareng... dan mulai dekat banget sejak kuliah. Kalau gue butuh bantuan, gue bilang ke Dimas. Kalau gue lagi sedih, gue menghubungi Dimas. Gue lagi marah, dia juga kena amukan gue. Gue lagi seneng, dia yang pertama kali gue kabari. Eh, sebenarnya, Dimas memang nggak pernah kemana-mana dari gue sih. Gue nyaman sama dia, tapi gue sama sekali gak kepikiran buat mengarah ke hal lain di luar itu...
“Terima kasih,” gue berkaca-kaca. “Gue.. eh...gue butuh waktu untuk mencerna ini semua, Mas...”
Dimas mengangguk dan tersenyum. “Iya, aku tahu. Aku nggak kemana-mana kok, Ren. Aku menunggu jawabanmu disampaikan oleh langit.”
Gue tertegun saat Dimas bangkit dan memeluk gue. Rasanya begitu hangat. Dan menentramkan.
Gue terdiam. Gue nggak butuh apa-apa lagi. Gue nggak akan mempertanyakan soal status gue lagi. Karena gue tahu, ada Dimas. Dan gue berdoa, semoga ... ini akan berlangsung selamanya.