Aku terlahir di sebuah lingkungan yang religius, di sebuah desa terpencil yang sebagian besar penduduknya beragama Islam. Desa ini telah menjadi tempat tinggal yang nyaman bagi kedua orang tuaku sejak mereka kecil.Â
Oleh karena itu, sejak kecil, keluarga kami tidak pernah merasakan perbedaan, khususnya yang berkaitan dengan keyakinan kami.
Semua itu berubah ketika keluarga kami pindah ke Nunukan, salah satu kabupaten di Kalimantan. Kami tinggal di pusat kota yang padat penduduk, berdekatan dengan orang-orang dari berbagai latar belakang, seperti Tionghoa, Kristen, dan Katolik.
 Kami juga berinteraksi dengan banyak suku bangsa, seperti Bugis, Dayak, dan Jawa, meskipun sebagian besar orang Jawa di sana adalah perantau yang datang ke Kalimantan untuk mencari pekerjaan.
Ayahku pernah mempertimbangkan untuk mengajak istrinya dan anak-anaknya kembali ke Jawa, karena khawatir kami tidak dapat beradaptasi dengan lingkungan yang sangat berbeda dari desa kami sebelumnya.Â
Namun, prediksi Ayah ternyata keliru. Saat kami berbenah setelah perjalanan panjang, seorang tetangga menghampiri Ibuku yang sedang membersihkan halaman rumah yang sangat kotor.
"Wah, ada tetangga baru, selamat sore Ibu, salam kenal ya," sapa tetangga baru kami yang merupakan orang Tionghoa.
 "Oh iya, Ibu, salam kenal," jawab Ibuku dengan senyum lebar.
"Kita tetanggaan, Bu. Ibu kalau sedang kerepotan atau butuh sesuatu, jangan sungkan untuk meminta bantuan pada saya, ya. Semoga di sini bisa betah," ucap tetangga tersebut.Â
Mendengar ucapan dari tetangga baru, Ibu merasa sangat senang karena walaupun mereka berasal dari suku dan agama yang berbeda, mereka masih mau menyapa dan bercengkerama dengan ramah tanpa memedulikan perbedaan latar belakang kami.