Lupakan 30 hari apalah-apalah itu. Aku nggak mau mengingatnya lagi. Aku mau fokus sama diriku sendiri saja. Cita bertekad di dalam hati.
Tak terasa, lima tahun berlalu. Cita sudah lulus kuliah dengan memilih jurusan sesuai keinginannya, yaitu keguruan. Seperti cita-cita masa kecilnya dulu yang ingin menjadi seorang guru. Setelah lulus beberapa saat yang lalu, Cita memilih mengabdikan diri untuk mengajar di sekolah alam yang didirikan oleh sang abang, Catur, bersama rekan-rekannya. Cita selalu merasa lebih hidup ketika membagikan ilmu pada anak-anak muridnya itu.
Kini, Cita tidak lagi berlarut memikirkan Bintang setelah ia menemukan tujuan hidupnya itu. Sebab, sedari berpisah dahulu, tak ada lagi komunikasi yang dibangun karena ia sengaja tidak memberitahu Bintang mengenai kepindahannya. Bahkan, ia mewanti-wanti Catur untuk tidak membocorkan rumah barunya ini. Sungguh, Cita ingin membuka lembaran baru.
"Dek, ada tamu. Ke bawah, ya! Abang tunggu."
Cita tertegun sejenak. Ia menebak siapa kira-kira sang tamu, sehingga abangnya itu repot-repot menemuinya untuk sekadar menyapa. Hari ini memang masih libur sekolah. Sehingga, Cita bisa bersantai seharian di rumah.
"Hai!"
Cita mendadak kaku melihat seseorang yang baru saja menyapa. Ia tidak menyangka akan bertemu dengan lelaki itu lagi setelah sekian lama. Tak ingin membuat suasana canggung, Cita merespons sekenanya. Lalu, ia meminta izin untuk kembali ke kamarnya yang terletak di lantai dua.
"Lama nggak ketemu, ya." Bintang menjeda kata-katanya. "Kenapa lo ngilang gitu aja, Ta? Boleh gue minta penjelasannya sekarang. Lo kayak mau menghindar. Seperti ... kebiasaan lo saat itu." Bintang menahan Cita dengan cepat. Ia tidak ingin kehilangan momen selaiknya bertahun-tahun sebelumnya.
"Semua orang bisa berubah, termasuk gue. Maaf, lo nggak perlu tahu. Kita nggak sedekat itu."
Bintang terdiam mendengar jawaban menohok dari Cita. "Apa menurut lo ... gue memang nggak sepenting itu, ya, Ta?"
Cita berdiri kaku.