Rasa kecewa di hati Cita berdentang kian kuat. Sehingga, ia sangat malas untuk sekadar menjawab sapaan dari lelaki yang baru saja tiba itu.
Saat ini, Cita lebih memilih meninggalkan sang lelaki yang membawa tas ransel itu mematung seorang diri.
"Abang Jahat!"
Keesokan harinya, Cita masih dalam mogok berbicara dalam rangka mengungkapkan rasa kecewa pada abangnya. Ia meninggalkan Catur sendirian di rumah.
"Lo sampai kapan mau marahan ama Bang Catur, Ta?" tanya Bintang sesampainya di sawah milik sang nenek.
Hari ini, Cita memang sengaja ikut Bintang ke sawah, sekadar melihat pemandangan hijau sembari membantu neneknya Bintang membawa bekal untuk para pekerja yang sedang menanam padi.
"Siapa yang marahan, sih?" bantah Cita. Lalu, gadis itu berlalu dari hadapan Bintang. Ia memilih menepi di pematang sawah yang tidak jauh dari gubuk mungil yang terletak di sisi sebelah timur sawah yang ia datangi pagi ini.
Di belakangnya, terdengar derap kaki Bintang yang berjalan agak cepat untuk menyusul Cita.
"Selalu denial!" seru Bintang setelah mampu berjalan sejajar dengan sahabatnya itu.
Cita masih diam. Suaranya seolah-olah teredam. Sebab, pertarungan dalam hatinya kian runyam.
"Bang Catur punya alasan sendiri kali, Ta, ninggalin lo waktu itu. Nggak pengin tanya langsung? Mana tahu bisa nemu jawaban yang bikin lega."