"Tang, lo pernah nggak, sih, merasa nama Lo itu aneh. Bintang Angkasa. Bukankah bintang memang adanya di angkasa, kan?" ucap seorang gadis yang saat ini terlihat fokus melihat Bintang---sahabatnya, yang sedang serius dengan ponsel di genggaman tangannya.
Lelaki muda itu lantas mendongak.
"Maksud gue, memangnya ada bintang beneran di bumi ini? Kan, bisa Bintang Jaya atau apa gitu."
Bintang geleng-geleng sendiri mendengar pertanyaan aneh dari sang sahabat.
"Enak aja nama keren gini lo ganti Bintang Jaya. Malah kayak nama toko bangunan," protes Bintang yang sontak membuat si gadis berbulu mata lentik itu tertawa sampai mengeluarkan air mata, saking konyolnya.
"Ah, iya, bintang nyata di bumi ini beneran ada. Nih ... gue," ucap Bintang sungguh-sungguh.
"Selain itu, bintang yang ini juga ada di hati kamu. Bintangnya Citarum," lanjut Bintang yang seketika mencipta rona merah di pipi Cita.
"Apaan, sih, Tang! Lo, cringe banget, dah. Satu lagi, nama gue bukan Citarum, tapi Cita Arum. Lo kata gue sungai," gerutu gadis yang bernama Cita itu.
"Ingat, ya! Cita Arum. C-I-T-A spasi A-R-U-M," tekan Cita dengan nada menggebu.
Bintang hanya menanggapi dengan senyum mencemooh saja.
"Tang ... kali ini serius, deh. Rasanya, tahun 2021 waktu itu beneran kejam banget, ya, buat gue? Mama pergi. Nggak lama setelahnya, papa nyusul. Terus ... abang gue nggak tahu ke mana. Kadang, gue merasa kesepian." Cita memberi jeda sejenak. Lalu, ia menghirup oksigen sebanyak-banyaknya seakan-akan udara dalam dirinya akan habis kala teringat kejadian mengenaskan dua tahun yang lalu, ketika pandemi melanda seluruh penjuru negeri.
"Apa gue ikutan pergi juga, ya, Tang?"
Bintang terkejut dengan kata-kata di luar nalar yang diungkapkan Cita. Lelaki itu langsung berdiri tegak sambil memperingatkan Cita kalau tidak boleh berpikiran sempit.
"Lo jangan mikir macam-macam, ya! Ada gue, Ta. Ayo kita wujudkan keinginan lo yang belum tercapai. Lo tulis daftar yang ingin lo lakuin selama 30 hari ke depan dan gue harus terlibat di dalamnya. Kalau itu nggak berjalan lancar ... terserah, deh! Nggak masalah kalau lo mau ngelakuin apa aja setelahnya." Bintang berkata dengan mantap.
"Oke, nggak, Ta?" tanya Bintang.
Cita pun mengangguk.
"Judulnya yaitu 30 hari bersama Bintang."
Cita tampak berpikir, Apa keputusan ini sudah benar?
Hari-hari berlalu. Namun, Cita belum memutuskan apa pun.
"Ta, udah lo tulis apa aja yg mau lo lakuin bareng gue 30 hari ini? Mumpung gue masih libur, nih." Bintang bertanya ketika mendapati Cita sedang duduk di teras rumahnya.
Gadis yang memakai rok motif floral itu belum bersuara. Ia hanya membisu sedari tadi, bahkan sejak Bintang sampai di kediamannya tersebut.
Saat ini, Bintang memang sedang menikmati masa liburan kuliah di kampung sang nenek, yang rumahnya tepat bersebelahan dengan rumah Cita.
"Nggak bisa mikir gue, Tang." Cita berucap dengan nada sedih.
"Ya, udah. Gue aja yang nulis. Dengan syarat, lo harus nurut ama gue," putus Bintang kemudian.
Cita pun mengangguk. Lalu, gadis itu segera beranjak ke kamar untuk mengambil buku catatan yang ia biarkan kosong karena tidak paham harus menuliskan apa saja di dalamnya.
"Mumpung lo masih cuti kuliah, manfaatkan waktu sebaik-baiknya untuk menenangkan diri, Ta. Gue tahu di posisi lo gak mudah," kata Bintang sembari menuliskan daftar panjang di buku yang diberikan Cita tadi.
Cita hanya menyimak setiap kata-kata bijak yang diutarakan oleh Bintang untuk menyemangatinya. Sesekali, ia juga menimpali kalau dirasa sahabatnya itu membutuhkan respons darinya.
"Selesai." Bintang berseru riang.
"Hah? Cepet amat. Lo nggak bakalan aneh-aneh, kan?" tanya Cita yang hanya ditimpali dengan tawa oleh Bintang.
"Langkah pertama, mulai sekarang, lo harus lebih mencintai diri sendiri, Ta. Itu poin pertama. Mudah, kan?"
Cita terpaku sejenak. Sungguh, ia sadar akan hal itu, bahwa ia sudah mengacaukan diri sendiri karena kesedihan yang tak kunjung usai yang ia alami.
Lebih mencintai diri sendiri, ya?
Cita merasa kalau ia harus bangkit dari masa sulit.
Kamu bisa, Ta! Cita meyakinkan diri sendiri.
Selepas Bintang pergi, Cita menatap ke sekeliling area samping rumah. Ada kerikil yang terhampar dan batu bata merah yang ditata rapi untuk pembatas. Tak banyak tanaman yang tumbuh di area ini, hanya ada beberapa rumput yang mulai tumbuh dan Cita belum sempat untuk membersihkannya.
"Kamu di mana, sih, Bang? Sudah lupa, ya, kalau masih punya adik," bisik Cita lirih.
Tak terasa, hari kedua sudah berjalan begitu saja. Namun, perasaan Cita belum ada yang berubah. Masih sama lelahnya. Masih sama sedihnya.
Sepulang dari rumah neneknya Bintang, untuk menuntaskan misi hari kedua ini, yaitu memasak bareng, Cita memang tidak langsung masuk ke dalam rumah. Ia melipir sejenak ke tempat favoritnya yang sudah lama ia abaikan.
"Mama, Papa."
Kaki Cita terasa lemas. Gadis itu tertegun sejenak tatkala matanya beradu pada jajaran bangku yang kini terkesan hampa. Dulu, bangku itu menjadi tempat menarik untuk berbagi cerita antara dirinya dan keluarganya. Namun, kini, semua tak lagi sama. Orang tuanya sudah kembali ke tempat asal mulanya. Seharusnya, masih ada abangnya yang menemani hari-harinya, tetapi kealpaan Si Abang beberapa bulan ini, seolah-olah membuat Cita berhenti berharap akan kehadiran lelaki yang terpaut usia sekitar lima tahun dengannya itu.
"Catur, nyebelin!" seru Cita sembari menyeka air matanya yang tidak sengaja jatuh.
Catur adalah nama panggilan sang kakak. Nama lengkapnya yaitu Catur Arum. Nada manja yang biasa Cita suarakan ketika bersama Catur dulu seakan-akan menghilang karena sikap abai lelaki itu.
"Dek." Satu suara yang terdengar samar itu sungguh mengejutkan lamunan Cita. Bukannya senang, Cita malah ingin menghardik sang pemanggil itu sekeras-kerasnya. Menurutnya, kedatangan sosok menyebalkan yang terbilang tiba-tiba itu mencipta secuil masalah baru bagi Cita.
Rasa kecewa di hati Cita berdentang kian kuat. Sehingga, ia sangat malas untuk sekadar menjawab sapaan dari lelaki yang baru saja tiba itu.
Saat ini, Cita lebih memilih meninggalkan sang lelaki yang membawa tas ransel itu mematung seorang diri.
"Abang Jahat!"
Keesokan harinya, Cita masih dalam mogok berbicara dalam rangka mengungkapkan rasa kecewa pada abangnya. Ia meninggalkan Catur sendirian di rumah.
"Lo sampai kapan mau marahan ama Bang Catur, Ta?" tanya Bintang sesampainya di sawah milik sang nenek.
Hari ini, Cita memang sengaja ikut Bintang ke sawah, sekadar melihat pemandangan hijau sembari membantu neneknya Bintang membawa bekal untuk para pekerja yang sedang menanam padi.
"Siapa yang marahan, sih?" bantah Cita. Lalu, gadis itu berlalu dari hadapan Bintang. Ia memilih menepi di pematang sawah yang tidak jauh dari gubuk mungil yang terletak di sisi sebelah timur sawah yang ia datangi pagi ini.
Di belakangnya, terdengar derap kaki Bintang yang berjalan agak cepat untuk menyusul Cita.
"Selalu denial!" seru Bintang setelah mampu berjalan sejajar dengan sahabatnya itu.
Cita masih diam. Suaranya seolah-olah teredam. Sebab, pertarungan dalam hatinya kian runyam.
"Bang Catur punya alasan sendiri kali, Ta, ninggalin lo waktu itu. Nggak pengin tanya langsung? Mana tahu bisa nemu jawaban yang bikin lega."
Ucapan Bintang benar-benar mengganggu Cita. Rasa gengsi untuk bertanya terlebih dahulu pada sang kakak begitu mendominasi. Ia sungguh penasaran, tetapi hatinya seakan-akan menolak karena takut apa yang diutarakan Catur tidak sesuai harapan.
"Coba saja dulu, Ta! Paling tidak, kalau Abang mau jelasin, lo dengerin baik-baik. Jangan langsung kabur kayak kemarin."
Cita berpikir keras.
Haruskah?
Sesampainya di rumah, Cita masih mempertimbangkan dengan matang saran dari Bintang, sampai ia terlelap saking lelahnya.
"Dek," ucap Catur sambil mengetuk pintu kamar Cita.
Mendengar nada ketukan tersebut, Cita tampak terkejut.
"Makan dulu, yuk!" ajak Catur.
Sepuluh menit berlalu, Cita belum juga bergegas membukakan pintu. Namun, ia teringat nasihat dari Bintang tadi pagi, untuk segera menyudahi perang dingin yang sesungguhnya tidak diinginkan.
"Ya," jawab Cita singkat.
Dengan langkah malas, Cita mengumpulkan tenaga untuk lekas beranjak dan menyusul Catur menuju ruang makan.
Sesampainya di meja makan, Cita kaget mendapati semangkuk mi yang terlihat asing. Bahkan, sepanjang hidupnya yang hampir berusia dua puluh tahun, ia belum pernah melihat tampilan mi seaneh ini.
"Berhubung bumbunya terbatas, stok mi yang ada di dapur Abang olah kayak gini aja. Nggak apa-apa, kan, Dek? Abang dapat referensi dari salah satu komedian sekaligus youtuber yang suka mendaki gitu. Pas di gunung mana, Abang lupa, si komedian ini masak mi yang out of the box macam ini. Rasanya enak, kok, Dek. Abang udah nyicip tadi."
Penjelasan Catur membuat Cita ingin mencoba semangkuk mi buatan abangnya. Cita sungguh terharu karena sang abang masih hapal makanan yang bisa disantap. Gadis itu memang tidak bisa menyantap mi instan, karena lambungnya bermasalah, jadi kalau ingin menikmati kelezatan olahan mi, Cita harus bereksperimen dengan aneka resep yang ia dapat di internet.
"Bumbunya apa aja?" tanya Cita setelah menyicip sesuap mi buatan Catur.
"Bawang merah, bawang putih, cabai, santan, garam, penyedap rasa, gula, lada bubuk, terus kunyit bubuk. Itu doang, kok. Asal cemplung." Catur menjawab disertai dengan tawa.
Cita pun tersenyum simpul menanggapinya. Setelah itu, Cita fokus menghabiskan semangkuk mi yang kini tinggal sedikit.
"Dek, Abang mau bilang sesuatu, boleh? Ini penting buat kelangsungan hidup kita berdua."
Jantung Cita berdegup kencang mencerna kata demi kata yang Catur ucapkan. Sungguh, ia tidak sanggup jika harus menerima kabar buruk lagi. Hatinya sudah telanjur porak-poranda selama beberapa bulan ini.
Apa lagi, Tuhan?
Langit sudah menguning. Keadaan sekeliling sudah makin senyap. Namun, Cita masih enggan beranjak. Pikiran dan hatinya sedang. bertarung kali ini.
"Apa aku sanggup?" bisik Cita resah.
Semenjak mendengar kabar penting dari Catur, semangat Cita makin mengendur. Bahkan, ia sendiri bingung harus bersikap seperti apa. Pasalnya, tawaran dari Catur lumayan menggiurkan. Namun, ia masih belum sanggup untuk meninggalkan kota ini.
"Mas diterima kerja, tapi lokasinya di luar kota. Mas nggak tega kalau harus ninggalin kamu sendirian di sini dalam kurun waktu yang lama, Dek. Mau, ya, ikut sama Mas?"
Hati Cita rasanya campur aduk. Meskipun, ia juga bisa sewaktu-waktu ke rumah ini, yang memang sampai kapan pun tidak akan pernah dijual.
"Aku pikir-pikir dulu," balas Cita dengan nada kelu.
Aku harus gimana, Tang?
Satu minggu berlalu, tetapi Cita belum mampu menentukan pilihan. Jujur, ia sangat bimbang.
Dengan langkah tergesa, Cita berjalan ke luar rumah untuk meminta pendapat Bintang perihal tawaran dari Catur untuknya. Namun, kakinya sontak tak mampu bergerak kala mendapati lelaki yang dituju sedang terlihat bahagia seorang perempuan cantik yang ia tidak tahu namanya. Tawa Bintang menggema hingga membuat Cita membeku. Ia mengurungkan niatnya untuk menemui lelaki itu.
Hari-hari berikutnya terasa lebih sepi. Cita merasa tak memiliki semangat untuk sekadar berdiri. Apa lagi, saat ia mendapat kabar kalau Bintang sudah kembali ke kampus secara mendadak karena ada urusan organisasi.
Oleh karena itu, Cita mengambil keputusan untuk ikut dengan Catur tanpa berpikir panjang, "Aku mau ikut sama Abang."
Sesingkat itu, tetapi langsung membuat Catur semringah.
Tanpa menunda lebih lama, Catur segera mengajak Cita untuk berkemas karena malam nanti keduanya akan bertolak ke kota baru yang akan menjadi tempat tinggalnya nanti.
Lupakan 30 hari apalah-apalah itu. Aku nggak mau mengingatnya lagi. Aku mau fokus sama diriku sendiri saja. Cita bertekad di dalam hati.
Tak terasa, lima tahun berlalu. Cita sudah lulus kuliah dengan memilih jurusan sesuai keinginannya, yaitu keguruan. Seperti cita-cita masa kecilnya dulu yang ingin menjadi seorang guru. Setelah lulus beberapa saat yang lalu, Cita memilih mengabdikan diri untuk mengajar di sekolah alam yang didirikan oleh sang abang, Catur, bersama rekan-rekannya. Cita selalu merasa lebih hidup ketika membagikan ilmu pada anak-anak muridnya itu.
Kini, Cita tidak lagi berlarut memikirkan Bintang setelah ia menemukan tujuan hidupnya itu. Sebab, sedari berpisah dahulu, tak ada lagi komunikasi yang dibangun karena ia sengaja tidak memberitahu Bintang mengenai kepindahannya. Bahkan, ia mewanti-wanti Catur untuk tidak membocorkan rumah barunya ini. Sungguh, Cita ingin membuka lembaran baru.
"Dek, ada tamu. Ke bawah, ya! Abang tunggu."
Cita tertegun sejenak. Ia menebak siapa kira-kira sang tamu, sehingga abangnya itu repot-repot menemuinya untuk sekadar menyapa. Hari ini memang masih libur sekolah. Sehingga, Cita bisa bersantai seharian di rumah.
"Hai!"
Cita mendadak kaku melihat seseorang yang baru saja menyapa. Ia tidak menyangka akan bertemu dengan lelaki itu lagi setelah sekian lama. Tak ingin membuat suasana canggung, Cita merespons sekenanya. Lalu, ia meminta izin untuk kembali ke kamarnya yang terletak di lantai dua.
"Lama nggak ketemu, ya." Bintang menjeda kata-katanya. "Kenapa lo ngilang gitu aja, Ta? Boleh gue minta penjelasannya sekarang. Lo kayak mau menghindar. Seperti ... kebiasaan lo saat itu." Bintang menahan Cita dengan cepat. Ia tidak ingin kehilangan momen selaiknya bertahun-tahun sebelumnya.
"Semua orang bisa berubah, termasuk gue. Maaf, lo nggak perlu tahu. Kita nggak sedekat itu."
Bintang terdiam mendengar jawaban menohok dari Cita. "Apa menurut lo ... gue memang nggak sepenting itu, ya, Ta?"
Cita berdiri kaku.
"Gue memang salah karena nggak menepati janji untuk menghabiskan 30 hari itu. Ada kegiatan yang nggak bisa ditinggal saat itu---"
Cita lantas memotong ucapan Bintang, "Sudah berlalu juga. Lupakan sajalah!"
Bintang menghela napas, "Apa lo nggak kangen gue? Nggak kangen kita?"
Jantung Cita berdebar kencang. Bohong kalau ia tidak kangen. Namun, ia tidak ingin dipermainkan dengan harapan lagi. Ia kapok.
"Beri gue kesempatan untuk memperbaiki kesalahan, Ta! Kita mulai lagi 30 hari bersama Bintang yang tertunda. Kalau dalam kurun waktu itu gue nggak bisa buat lo nyaman, lo boleh usir gue dalam hidup lo sekalian. Setelah itu, gue nggak bakal ganggu lo lagi.
Cita tersentak atas kalimat panjang yang diutarakan oleh Bintang. Ia benar-benar bingung harus menjawab apa.
"Bisa, ya? Please!" Bintang memohon.
Tanpa sadar, Cita mengangguk yang membuat senyum Bintang mengembang.
Semoga 30 hari bersama Bintang kali ini bukan sebatas angan, juga bukan sekadar bualan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H