#fabelÂ
Pada zaman dahulu ada sebuah desa yang dihuni oleh para kelinci. Ciri khas mereka adalah kulitnya putih bersih, bulunya halus, telinga panjang, mata bulat dan pandai melompat-lompat.Â
Pada umumnya setiap keluarga memiliki kebun wortel karena mereka sangat menggemari buah berwarna orens cerah itu. Selain enak, buah itu juga banyak kandungan vitamin A-nya. Membuat mata sehat dan tubuh bugar.
Di desa tersebut terdapat sepasang anak kembar bernama Caca dan Cici. Caca sangat pemalas namun Cici rajin sekali.
"Nak, ambilkan wortel di kebun," pinta ibu kelinci menyuruh kedua anaknya.
Cici dengan senang hati melompat-lompat membawa keranjang ke kebun wortel mereka yang sangat luas.
Sedangkan Caca tak tampak batang hidungnya.
"Ini, Bu," kata Cici beberapa saat kemudian sambil menyerahkan sekeranjang wortel yang segar dan berhias daun-daun hijau hasil petikannya.
Caca tidak kelihatan. Ibu menengok ke kanan dan ke kiri.
"Kakakmu mana?" tanya ibu.
Cici menggeleng.
"Tidak tahu, Bu. Dari tadi aku sendirian memetik wortel-wortel ini," sahut Cici kelinci yang sangat rajin itu.
"Duh," tukas ibu sambil menepuk kepala.Â
Setelah dicari di kamar, ternyata Caca di sana. Sedang berbaring di atas kasur yang empuk. Sudah menjadi kebiasaan Caca untuk tiduran saja di kamarnya. Ibu kelinci pun segera memanggilnya.Â
"Caca, bantu ibu memasak wortel-wortel yang sudah dipetik adikmu nih!" teriak ibu agar terdengar sampai kamar.
Tapi Caca pura-pura tidak tahu. Ia sibuk makan wortel di kamarnya sambil bermain.Â
Ia pikir sudah ada Cici, untuk apa ia membantu ibu? Bukankah pekerjaan itu bisa dilakukan oleh satu orang saja?
Akhirnya Cici yang menjawab ibu. Karena ia kasihan pada ibu.
"Aku saja, Bu. Aku saja yang membantu ibu memasak," kata Cici.Â
Cici melompat-lompat. Telinganya bergerak-gerak. Tubuhnya cantik tertimpa sinar matahari pagi lewat jendela.
"Baiklah," sahut ibu.
Akhirnya mereka memasak wortel-wortel yang segar itu.
"Hmmm, harum sekali masakan kalian," seru ayah kelinci yang baru pulang menjual wortel ke kota.
Cici tetawa riang. Ia sangat senang mendengar pujian sang ayah.
Setelah masakan selesai, mereka makan bersama di meja makan. Mereka bersantap dengan lahap terutama Caca. Ibu hanya bisa menggelengkan kepala.
"Ck ck ck," seru ibu.
Tiba-tiba teman-teman datang.
"Cici ...! Main, yuk ....!" seru mereka dari luar rumah.
Cici yang sudah selesai makan segera menyambut mereka.Â
"Main apa?" tanya Cici.
"Kita main lompat tali," sahut teman-temannya.
"Asiiik," seru Cici gembira.Â
Selain selalu riang dan rajin melakukan apa saja, Cici juga banyak temannya.Â
Berbeda dengan Caca. Ia lebih suka bermain sendiri di kamarnya. Dan hanya keluar jika lapar saja. Begitulah setiap hari.Â
Suatu sore, ketika ibu menyuruh mandi, Cici segera masuk ke dalam bak air yang telah disiapkan.
"Wuih, segar!" seru Cici riang.
Ibu pun mendandaninya setelah selesai memandikannya. Kemudian rambut Cici disisir rapi.Â
"Wah, cantik sekali anak Ibu," pujinya. Cici sangat senang mendengarnya.Â
"Caca, giliranmu mandi!" seru ibu kepada Caca yang pemalas.
Caca menjawab seperti biasa.
"Nanti ya, Bu!"
Hingga malam semakin gelap. Caca belum juga bangun dan keluar dari kamarnya. Ibu memeriksa dan mendapati kelinci muda itu sudah tertidur pulas.
"Ya ampun," seru ibu kelinci mendecakkan lidah.
***Â
Kebiasaan buruk yang dilakukan berulang-ulang atau terlalu sering maka akan sangat sulit diubah.
Kebiasaan Caca Kelinci yang pemalas dan tak mau mandi itu sudah susah mengubahnya. Ibu pun sepertinya lelah menasehati.Â
Hingga suatu hari. Ibu sangat terkejut.Â
"Caca, lihat tubuhmu berubah menjadi landak," seru ibu keheranan.
Hal aneh terjadi pada diri Caca. Kulitnya menghitam. Bulunya mengeras. Membentuk seperti duri-duri tajam yang berdiri di seluruh tubuhnya.Â
Ketika teman-teman Cici datang untuk mengajak bermain, mereka melihat Caca yang sudah berubah hitam.Â
"Aaaah ..., ada makhluk menyeramkan ...!" Mereka berlari dan melaporkannya pada orangtua masing-masing.Â
"Dimana? Di mana makhluk asing itu?" Mereka pun berdatangan dengan membawa senjata tajam.Â
"Nah, ketemu kau makhluk jadi-jadian!" teriak mereka saat melihat Caca di ruang tamu.
Caca sangat ketakutan. Ia bersembunyi di belakang tubuh ayah dan ibu.
"Bukan, ini bukan makhluk jadi-jadian. Ini Caca, anak kami," teriak ayah berusaha menahan para bapak kelinci yang marah dan ingin mengusir Caca dari rumah.
Namun, mereka tidak percaya.Â
"Sudah jelas itu makhluk aneh. Landak yang suka menusuk kita dengan kulitnya yang tajam," sahut mereka menuduh macam-macam.
"Tolonglah jangan mengusirnya. Dia Caca anak kami. Apa kalian tidak ingat kalau kami punya anak kembar?" tanya ibu memohon.
"Tidak, kami tidak ingat." Para tetangga saling berpandangan.
Caca tidak pernah mau bermain dengan orang lain. Itu sebabnya para tetangga lupa padanya.
"Kalau begitu suruh ia melompat. Kalau dia kelinci pasti bisa," teriak para bapak kelinci menantang Caca demi membuktikan kalau ia memang kelinci dan bukan landak.
Akhirnya ayah, ibu dan Cici menyuruh Caca melompat, agar segera terhindar dari hukuman. Caca pun segera berusaha melompat.
Hup hup!Â
Tapi Caca tidak bisa. Tubuhnya terasa sangat berat. Caca jadi bingung. Wajahnya kelihatan cemas sekali. Peluh mulai keluar di dahinya.
Selama ini kerjanya hanya bermain dan makan saja di kamar jadi tidak bisa gesit seperti adiknya.Â
"Ayo, Kak, dicoba lagi," seru Cici memberi semangat pada kakaknya.Â
Ia pun mencoba lagi.
Hap hap!Â
Sekali lagi dicobanya tetapi tetap tidak bisa.
"Cukup! Jelas sudah dia landak. Kita usir saja makhluk ini. Ayo pergi kau dari sini! Ayo pergi! Pergi!" teriak para tetangga bersahut-sahutan.
"Ibu, tolong aku, Bu, Ayah!" teriak Caca ketakutan.
"Lari Nak, lari!" teriak Ayah karena tak bisa lagi menahan kemarahan para tetangga.
"Kak Caca, cepat lari!" imbuh Cici berusaha menyelamatkan kakaknya.
Caca pun berlari keluar. Dengan tenaga yang dipaksakan ia berusaha menghindari kemarahan para kelinci hingga masuk ke hutan.Â
"Sudah cukup. Kita tak perlu mengejarnya. Yang penting makhluk itu sudah pergi dari desa kita," kata ketua rombongan kelinci yang mengusir Caca. Mereka pun pulang ke rumah masing-masing.
Sementara di dalam hutan, Caca menangis.
"Hu ... hu ... ayah, ibu, aku takut," kata Caca sambil mengusap-usap matanya.
"Sebentar lagi gelap. Malam hampir tiba. Hutan pasti menjadi gelap gulita," sesal Caca sambil terus memanggil-manggil ayah, ibu, dan adiknya.Â
Ia baru sadar dan menyesali kebiasaannya selama ini.
"Aku menyesal tidak mendengarkan ucapan ibu," ujar Caca sambil terisak-isak sesenggukan.
Sementara itu, di dalam rumah keluarga Cici, semua pun tengah menangis bersama. Akhirnya ayah memutuskan untuk menjelaskan apa yang terjadi selama ini. Kalau Caca sangat malas dan tidak mau bergaul dengan orang lain. Juga jarang mandi sehingga tubuhnya jadi jelek seperti landak.
Setelah diberitahu baik-baik, para tetangga kampung pun memahami dan mau memaafkan Caca. Akhirnya mereka kembali bersama-sama ke hutan untuk mencari Caca.
"Caca! Di mana kamu? Keluarlah! Kami sudah tahu kalau kamu bukan landak!" teriak para tetangga kampung.
Tubuh Caca kelinci bukan lagi putih tetapi hitam. Itu sebabnya sangat sulit dicari karena saru dengan warna batang-batang pohon.
Mereka terus berteriak memanggil-manggil. Tapi rupanya Caca sudah jauh tersesat di dalam hutan. Ayah tidak menyerah. Ia terus mencari meskipun para tetangga sudah menyerah dan berniat pulang.
"Caca! Kamu di mana?" teriak ayah kelinci.
Tak lupa ayah berdoa.
"Ya Tuhan, selamatkan anakku Caca. Semoga kami segera menemukannya," pinta ayah sambil menengadahkan tangan ke langit.
Setelah hampir dua jam mencari, ayah melihat serumpun bulu tajam.
"Caca?" panggil ayah mendekat.
Caca menyembunyikan tubuhnya di balik pohon. Ia mengintip dengan melongokkan sebagian kepalanya.
Caca senang melihat ayahnya, tetapi rasa takut menghampiri saat melihat para bapak kelinci yang lain.
"Ke marilah, Nak. Kami sudah tahu kalau kau bukan landak. Maafkan kami," kata ketua rombongan kelinci yang tadi beramai-ramai mengusir Caca.
Caca senang bukan kepalang. Ia lantas melompat-lompat hendak memeluk sang ayah.Â
"Aw, Caca! Tubuhmu seperti duri yang keras, hampir saja menusuk kulit ayah," kata ayah menghindar.
Caca segera menghentikan lompatannya.
"Maafkan aku, Ayah," ujarnya dengan wajah sedih.
"Tapi, kau tadi sudah pandai melompat!" seru ayah gembira.
"Ya, Ayah, di hutan ini tidak ada makanan. Aku jadi lebih kurus sekarang dan bisa melompat," sahut Caca ikut senang.
Ayah sungguh berterima kasih kepada para tetangga kelinci yang lain karena sudah berbaik hati mau menemaninya terus untuk mencari Caca.
Akhirnya mereka pun pulang sebelum matahari benar-benar menghilang.
Sampai di rumah, alangkah bahagianya hati ibu kelinci dan Cici. Ibu segera menyiapkan air mandi hangat untuk Caca.
Setelah membasuh diri dalam bak besar cukup lama, akhirnya tubuh Caca mulai kelihatan putih kembali. Dan bulunya yang tadi sekaku duri sudah halus lagi.
"Ayah, Ibu, aku berjanji tidak akan jadi pemalas lagi," ujar Caca dengan sungguh-sungguh.
Ia pun melompat masuk ke dalam pelukan seluruh keluarga dengan bahagia.Â
Tamat
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H