“Kasian sekali anaknya memliki ibu yang seperti dia, untung masih bisa diterima di keluarga suaminya meskipun kelakuannya sangat biadap”
“Aku dengar tadi anaknya tidak mau mendekati ibunya, tapi wajarlah setelah semua yang ibunya lakukan dia memang pantas mendapatkan perlakuan seperti itu”
“Sutt, orang sudah meninggal juga masih di rasani jelek”
Kulihat kakek berdzikir disamping mayat ibu, aku mendekat dengan air mata yang sudah aku tahan mati-matian. Tangan kakek mengusap kepala seraya memberiku sepucuk surat yang dipenuhi darah. Dengan gentar aku membacanya.
“Nak maafin ibu, tidak pernah ibu bermaksud menyakiti dan membuat keluarga kita hancur, ibu melakukan ini dengan alasan yang sangat kuat agar keluarga kita tidak lagi mendapat ancaman. Maaf ibu salah memilih jalan keluar, hingga membuat keluarga bahagia kita bercerai berai. Ibu hanya ingin berpesan, jika nanti kamu sudah dewasa jangan pernah engkau menyakiti orang lain, bersikaplah seperti ayahmu yang sangat dermawan itu. Ayahmu seperti kesatria bagi ibu, tapi sayang kerena kurangnya komunikasi semua berantakan. Baik-baik ya nak, jaga kakek karena sekarang kamu hanya memilikinya di dunia teka-teki ini. Terimakasih sudah mau membaca surta ibu, jangan pernah mendengarkan ocehan yang belum pasti benar, karena semua cerita hanya ibu yang tau”
Lagi-lagi hantaman kembali terasa, apa maksud ini semua? masalah apa yang sebernarnya terjadi?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H