“Maafkan aku” ucapnya lalu menutup album itu dan berjalan masuk kedalam rumah.
Tangannya gemetar saat ia temui suaminya memperlihatkan wajah marah dengan tangan yang masih menggenggam gagang telephone. Mata merahnya semakin menelisik ke raut wajah Marisa.
“Apa maksud semua ini?” dia bertanya bak petir menghantam manusia, tangannya yang kekar berhasil melayangkan tamparan di pipi Marisa.
Anak kecil yang sedari tadi menyaksikan bertikaian orang tuanya kembali membekam mulutnya, detak jantungnya sudah tidak normal, keringat dingin menjalar di tubuhnya. Sebuah kiamat kecil yang terjadi pada keluarganya itu berhasil membuat jiwanya hancur.
###
01 Januari 2015.
Aku menatap penutup putih yang berada di atas tubuh ayah, senyumnya tak luntur meski ajal sudah menjembutnya. Banyak ocehan yang aku terima, namun apa boleh buat kenyataan kembali menghantam. Meskipun minyak wangi, daun pandan dan bunga kenanga sudah siap dengan berbagai perlengkapan yang lain, tak membuat ocehan itu mereda.
“kurang ajar sekali istrinya, suami baik seperti dia disia-siakan” ucap Maena tetangga sebelahku.
“Itulah manusia yang serakah, sudah dikasih air bagus dan bening malah memilih air comberan” sambung bu Ida sambil mengulek bumbu masakan.
Telingaku panas mendengar semuanya dengan suasana hati yang tidak menentu aku hanya bisa mendekam tubuhku sendirian. Mataku mencari kemana orang yang saat ini aku butuhkan sebagai sandaran? Masyarakat mulai berdesakan mempersiapkan pemakaman ayah, tapi orang yang sedang dinanti tak kunjung kelihatan batang hidungnya. Kepala desa berulang kali mendatangiku dan bertanya kapan pemakaman ayah bisa dimulai dan sudah berulang kali aku menjawab dengan alasan yang sama.
“Tunggu ibu saya datang ya pak” ucapku dengan pikiran yang sudah melayang entah kemana.