Mohon tunggu...
Nurimania Purnama
Nurimania Purnama Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Aku biasa dipanggil aim, hobi membaca novel roman, kuliner dan tidur. Bercita-cita menjadi penulis/cerpenis dan guru/dosen

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cangkriman

19 Desember 2023   20:30 Diperbarui: 19 Desember 2023   20:40 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Satu jam sudah berlalu, para pelayat sudah mulai mengeluh dan sebagian sudah pulang kerumahnya, namun jasad ayah masih terbaring di ruangan. Ocehan ibu-ibu kembali terdengar di telingaku, dalam benak aku beratanya pada diriku sendiri, setidak berharga itukah keluarga ini?

###

17 April 2016.

Pagi sekali aku melihat kakek sudah sibuk dengan alat tempur untuk bertani, sudah satu tahun aku diasuhnya, tak pernah aku melihat raut marah dalam wajahnya, dia selalu tersenyum sekalipun masalah yang dihadapinya sangat besar. Kakek adalah orang yang patut aku acungi jempol, dengan kesabarannya ia bisa melewati hari-hari kelam satu tahun lalu. Meskipun setiap saat ia akan mendengarkan ocehan menyakitkan dari para tetangga, namun dengan kebijakannya dia selalu berkata.

“Ini adalah ujian untuk keluarga anakku” senyumnya tak lepas dari bibirnya yang sudah mengering. Kakek sering berpesan padaku “jangan pernah engkau anggap ujian ini sebagai cobaan. Sadarlah, ujian ini datang untuk membuatmu kuat mengahadapi kehidupan yang penuh dengan drama dan misteri” ucapnya seraya menepuk pundakku.

Lamunanku terganggu saat satu warga dengan lari terbirit-birit mengahampiri kakek, rasa penasaranku semakin menyeruak saat kakek memegang dadanya dan semua alat di tangannya jatuh menimpa kaki yang tampa alas.

Sedetik kemudian kakek berlari menuju hutan terlarang. Ada apa ini, kenapa kakek pergi kehutan yang dulunya ia larang untuk aku datangi? Jeritan warga semakin membuatku penasaran, aku mendekat dan tangis itu semakin terdengar, kenapa semua orang menangis?

Didalam hutan aku melihat warga berkerumun dengan kakek yang menjadi sorotan. Ada apa dengan kakek? Namun kakiku menjadi lemas saat mata menangkap tubuh wanita cantik yang berbalut kain putih itu sudah tak berdaya di dekapan kakek, darah menodai pakaian putihnya, mata yang masih terbuka itu menatapku dengan penyesalan, tangannya melambai berusaha memanggilku, namun kejadian satu tahun lalu kembali memutar di kepalaku, dengan perasaan berdebar aku berlari meninggalkan warga yang terus menjerit memanggil namaku.

Langakah kaki membawaku duduk di depan gundukan tanah, dengan air mata aku kembali bercerita pada ayah.

“Ayah maafkan aku, aku belum bisa menerima perlakuan keji yang sudah ibu perbuat pada ayah, aku tidak tau apa yang sedang terjadi, amarahku belum bisa terkendalikan” ucapku lalu beranjak pulang.

Dari jauh aku sudah melihat para warga menata kursi dan tenda, bendera kuning itu kembali bertengger di depan rumah, hatiku kacau untuk kedua kalinya aku harus merasakan kehilangan, kenapa dunia begitu kejam padaku?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun