Semuanya sudah beranjak sedangkan aku masih tetap di tempat yang sama dengan kenangan yang masih melekat dalam ingatan. Pohon rindang dengan buah segar yang sudah siap disantap, aku termenung dibawahnya. Senenarnya apa yang sedang aku tunggu? Apa yang aku harapkan? Dan bagaimana menghujudkannya? Kicauan burung mengalihkan pikiranku. Sekelebat bayang-bayang itu kembali muncul dan terus menari dalam ingatan.
Hari sudah petang namun langkah masih lunglai, kakek di luar langgar khusuk dengan wiridannya, dengan wajah yang tak lagi kencang tak membuatnya mengeluh untuk melakukan ibadah, setiap waktu tangannya sibuk menghitungi biji-biji kopi.
“Dari mana saja?” tanyanya sambil membenarkan kacamata. Jariku menunjuk tempat persembunyian.
“Ibu kemana kek?” dia hanya menjawab dengan gelengan dan membuat mukaku kembali berubah masam.
Kenapa ibu tidak jera juga dengan perbuatannya?
###
14 Juli 2014.
Kijang-kijang dalam hutan berlarian melihat dua insan yang tegah tergesa masuk kedalam hutan, suasana hutan mencekam, para tumbuhan seakan mengerti apa yang terjadi, gelap membubuhi perjalanan dua insan itu. Dengan tawa ringan keduanya tidak menyadari apa yang akan terjadi akibat ulahnya.
“Mas, seru juga ya berlarian di hutan keramat ini” ucap Marisa dengan senyum manisnya.
Mendengar tuturan kekasihnya itu, Hanif hanya bisa mengangguk dan tertawa bersama dengan angin yang bertiup kesana kemari. Mereka berdua tidak pernah tau kalau ada anak kecil yang sedang mengintip di balik semak berduri.
Dengan langkah kecilnya Dimas berusaha pergi dari tempat terlarang itu, hatinya berdesir kencang, otaknya bekerja seperti orang dewasa, dalam kalbunya iya bertanya, kenapa mereka melakukannya?
Jalan kembali terang, diperbatasan itu Dimas kembali melihat kearah dua insan yang tadinya ia buntuti, ada rasa sesal dalam hatinya telah melakukan hal bodoh beberapa menit yang lalu. Sebuah kenyataan pahit harus ia kenyam sendirian.
###
Sore hari dikala semua orang kembali kerumahnya dengan peluh yang masih menetes dari pelipisnya, aku berjalan menelusuri jalan setapak dengan keyakinan akan menemukan hal yang aku cari belakangan ini. Perbincangan ibu dalam telpon kembali menyiksa, dengan hati kacau aku menendangi batu-batu yang berani menghalangi. Dikala keadaan yang buruk seperti ini, kudatangi makam ayah dan mengadu pada batu yang bertuliskan tanggal lahir dan tanggal wafatnya.
“Ayah, aku harus gimana? Aku kembali mendengar ibu menghubungi orang itu, hat sakit jika harus mengingat kejadian satu tahun yang lalu” tak terasa air mata mengalir bak sungai yang sangat deras.
Dengan mata merah aku kembali kerumah, namun dalam perjalanan pulang aku kembali berhadapan dengan kejadian yang tidak ingin aku alami kembali.
“Apa yang bisa membuatmu jera?”
###
01 September 2014.
Marisa termenung dalam lamunannya, berulang kali ia menyesali kejadian yang tak sepentasnya ia perbuat, tapi sekarang itu semua sudah terlambat, benih-benih cinta sudah mulai hadir di hati keduanya. Matanya menatap ke hutan terlarang itu, rusa-rusa berlarian kesana kemari seperti pikirannya yang semakin kacau.
Ia membuka album foto yang sudah kumuh dengan rentetan kenangannya Bersama orang-orang terkasih. Senyumnya mengembang dengan tangan yang terus mengusap foto anak kecil yang sedang memamerkan gigi kelincinya. Hatinya kembali terenyuh saat ia melihat tiga orang dengan senyum bahagianya.
“Maafkan aku” ucapnya lalu menutup album itu dan berjalan masuk kedalam rumah.
Tangannya gemetar saat ia temui suaminya memperlihatkan wajah marah dengan tangan yang masih menggenggam gagang telephone. Mata merahnya semakin menelisik ke raut wajah Marisa.
“Apa maksud semua ini?” dia bertanya bak petir menghantam manusia, tangannya yang kekar berhasil melayangkan tamparan di pipi Marisa.
Anak kecil yang sedari tadi menyaksikan bertikaian orang tuanya kembali membekam mulutnya, detak jantungnya sudah tidak normal, keringat dingin menjalar di tubuhnya. Sebuah kiamat kecil yang terjadi pada keluarganya itu berhasil membuat jiwanya hancur.
###
01 Januari 2015.
Aku menatap penutup putih yang berada di atas tubuh ayah, senyumnya tak luntur meski ajal sudah menjembutnya. Banyak ocehan yang aku terima, namun apa boleh buat kenyataan kembali menghantam. Meskipun minyak wangi, daun pandan dan bunga kenanga sudah siap dengan berbagai perlengkapan yang lain, tak membuat ocehan itu mereda.
“kurang ajar sekali istrinya, suami baik seperti dia disia-siakan” ucap Maena tetangga sebelahku.
“Itulah manusia yang serakah, sudah dikasih air bagus dan bening malah memilih air comberan” sambung bu Ida sambil mengulek bumbu masakan.
Telingaku panas mendengar semuanya dengan suasana hati yang tidak menentu aku hanya bisa mendekam tubuhku sendirian. Mataku mencari kemana orang yang saat ini aku butuhkan sebagai sandaran? Masyarakat mulai berdesakan mempersiapkan pemakaman ayah, tapi orang yang sedang dinanti tak kunjung kelihatan batang hidungnya. Kepala desa berulang kali mendatangiku dan bertanya kapan pemakaman ayah bisa dimulai dan sudah berulang kali aku menjawab dengan alasan yang sama.
“Tunggu ibu saya datang ya pak” ucapku dengan pikiran yang sudah melayang entah kemana.
Satu jam sudah berlalu, para pelayat sudah mulai mengeluh dan sebagian sudah pulang kerumahnya, namun jasad ayah masih terbaring di ruangan. Ocehan ibu-ibu kembali terdengar di telingaku, dalam benak aku beratanya pada diriku sendiri, setidak berharga itukah keluarga ini?
###
17 April 2016.
Pagi sekali aku melihat kakek sudah sibuk dengan alat tempur untuk bertani, sudah satu tahun aku diasuhnya, tak pernah aku melihat raut marah dalam wajahnya, dia selalu tersenyum sekalipun masalah yang dihadapinya sangat besar. Kakek adalah orang yang patut aku acungi jempol, dengan kesabarannya ia bisa melewati hari-hari kelam satu tahun lalu. Meskipun setiap saat ia akan mendengarkan ocehan menyakitkan dari para tetangga, namun dengan kebijakannya dia selalu berkata.
“Ini adalah ujian untuk keluarga anakku” senyumnya tak lepas dari bibirnya yang sudah mengering. Kakek sering berpesan padaku “jangan pernah engkau anggap ujian ini sebagai cobaan. Sadarlah, ujian ini datang untuk membuatmu kuat mengahadapi kehidupan yang penuh dengan drama dan misteri” ucapnya seraya menepuk pundakku.
Lamunanku terganggu saat satu warga dengan lari terbirit-birit mengahampiri kakek, rasa penasaranku semakin menyeruak saat kakek memegang dadanya dan semua alat di tangannya jatuh menimpa kaki yang tampa alas.
Sedetik kemudian kakek berlari menuju hutan terlarang. Ada apa ini, kenapa kakek pergi kehutan yang dulunya ia larang untuk aku datangi? Jeritan warga semakin membuatku penasaran, aku mendekat dan tangis itu semakin terdengar, kenapa semua orang menangis?
Didalam hutan aku melihat warga berkerumun dengan kakek yang menjadi sorotan. Ada apa dengan kakek? Namun kakiku menjadi lemas saat mata menangkap tubuh wanita cantik yang berbalut kain putih itu sudah tak berdaya di dekapan kakek, darah menodai pakaian putihnya, mata yang masih terbuka itu menatapku dengan penyesalan, tangannya melambai berusaha memanggilku, namun kejadian satu tahun lalu kembali memutar di kepalaku, dengan perasaan berdebar aku berlari meninggalkan warga yang terus menjerit memanggil namaku.
Langakah kaki membawaku duduk di depan gundukan tanah, dengan air mata aku kembali bercerita pada ayah.
“Ayah maafkan aku, aku belum bisa menerima perlakuan keji yang sudah ibu perbuat pada ayah, aku tidak tau apa yang sedang terjadi, amarahku belum bisa terkendalikan” ucapku lalu beranjak pulang.
Dari jauh aku sudah melihat para warga menata kursi dan tenda, bendera kuning itu kembali bertengger di depan rumah, hatiku kacau untuk kedua kalinya aku harus merasakan kehilangan, kenapa dunia begitu kejam padaku?
“Kasian sekali anaknya memliki ibu yang seperti dia, untung masih bisa diterima di keluarga suaminya meskipun kelakuannya sangat biadap”
“Aku dengar tadi anaknya tidak mau mendekati ibunya, tapi wajarlah setelah semua yang ibunya lakukan dia memang pantas mendapatkan perlakuan seperti itu”
“Sutt, orang sudah meninggal juga masih di rasani jelek”
Kulihat kakek berdzikir disamping mayat ibu, aku mendekat dengan air mata yang sudah aku tahan mati-matian. Tangan kakek mengusap kepala seraya memberiku sepucuk surat yang dipenuhi darah. Dengan gentar aku membacanya.
“Nak maafin ibu, tidak pernah ibu bermaksud menyakiti dan membuat keluarga kita hancur, ibu melakukan ini dengan alasan yang sangat kuat agar keluarga kita tidak lagi mendapat ancaman. Maaf ibu salah memilih jalan keluar, hingga membuat keluarga bahagia kita bercerai berai. Ibu hanya ingin berpesan, jika nanti kamu sudah dewasa jangan pernah engkau menyakiti orang lain, bersikaplah seperti ayahmu yang sangat dermawan itu. Ayahmu seperti kesatria bagi ibu, tapi sayang kerena kurangnya komunikasi semua berantakan. Baik-baik ya nak, jaga kakek karena sekarang kamu hanya memilikinya di dunia teka-teki ini. Terimakasih sudah mau membaca surta ibu, jangan pernah mendengarkan ocehan yang belum pasti benar, karena semua cerita hanya ibu yang tau”
Lagi-lagi hantaman kembali terasa, apa maksud ini semua? masalah apa yang sebernarnya terjadi?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H