Dengan langkah kecilnya Dimas berusaha pergi dari tempat terlarang itu, hatinya berdesir kencang, otaknya bekerja seperti orang dewasa, dalam kalbunya iya bertanya, kenapa mereka melakukannya?
Jalan kembali terang, diperbatasan itu Dimas kembali melihat kearah dua insan yang tadinya ia buntuti, ada rasa sesal dalam hatinya telah melakukan hal bodoh beberapa menit yang lalu. Sebuah kenyataan pahit harus ia kenyam sendirian.
###
Sore hari dikala semua orang kembali kerumahnya dengan peluh yang masih menetes dari pelipisnya, aku berjalan menelusuri jalan setapak dengan keyakinan akan menemukan hal yang aku cari belakangan ini. Perbincangan ibu dalam telpon kembali menyiksa, dengan hati kacau aku menendangi batu-batu yang berani menghalangi. Dikala keadaan yang buruk seperti ini, kudatangi makam ayah dan mengadu pada batu yang bertuliskan tanggal lahir dan tanggal wafatnya.
“Ayah, aku harus gimana? Aku kembali mendengar ibu menghubungi orang itu, hat sakit jika harus mengingat kejadian satu tahun yang lalu” tak terasa air mata mengalir bak sungai yang sangat deras.
Dengan mata merah aku kembali kerumah, namun dalam perjalanan pulang aku kembali berhadapan dengan kejadian yang tidak ingin aku alami kembali.
“Apa yang bisa membuatmu jera?”
###
01 September 2014.
Marisa termenung dalam lamunannya, berulang kali ia menyesali kejadian yang tak sepentasnya ia perbuat, tapi sekarang itu semua sudah terlambat, benih-benih cinta sudah mulai hadir di hati keduanya. Matanya menatap ke hutan terlarang itu, rusa-rusa berlarian kesana kemari seperti pikirannya yang semakin kacau.
Ia membuka album foto yang sudah kumuh dengan rentetan kenangannya Bersama orang-orang terkasih. Senyumnya mengembang dengan tangan yang terus mengusap foto anak kecil yang sedang memamerkan gigi kelincinya. Hatinya kembali terenyuh saat ia melihat tiga orang dengan senyum bahagianya.