"Mas ...bangun! Antarkan ke belakang, aku kebelet pipis ini." Kugoyang tubuh Mas Ilham yang sedang tertidur pulas. Malam sudah larut, jam dinding menunjukkan pukul 01.00 WIB.
Mas Ilham bergeming, suara dengkurnya makin keras. Biasanya ia gampang dibangunkan, namun seharian ini tenaganya terkuras, kelihatan kalau capek sekali. Aku kehabisan cara untuk membuatnya terbangun sementara desakan di perut bawah semakin terasa.
Sebenarnya bukan karena aku yang penakut atau bawaan bayi yang "aleman" yang memaksaku membangunkan suami untuk mengantar ke belakang. Namun beberapa hari terakhir ini aku sering mendengar suara tangisan anak kecil. Tangisan pilu seperti anak kecil yang ditinggalkan orang tuanya. Dari dalam kamar mandi.
"Anak tetangga mungkin, Dek," jawab Mas Ilham. Ketika  aku menanyakan apakah ia juga mendengar tangisan itu.
 "Oh itu, karena kamu terlalu merindukan anak kecil. Sabarlah Nurazmi, tak lama lagi kalian akan menimang anak sendiri," jawab Mama.
Ternyata hanya aku yang mendengarnya. Mungkin benar kata Mama, aku terlalu merindukan anak kecil sampai "rungon-rungonen".
Tiga langkah menuju kamar mandi, suara tangis itu terdengar. Pelan namun memilukan. Aku mengorek telinga  berharap suara itu hilang.
Suara tangis masih terdengar. Makin memilukan. Menyayat hati.
Aku termangu di depan kamar mandi. Dadaku berdegup kencang, jantungku seakan melompat keluar, apalagi ada hawa dingin menyusup membuat tengkuk merinding.
Desakan perut bawah tak kurasakan lagi. Namun desakan jiwaku meronta memaksa tangan memegang handle pintu.
Kubuka.