(Ending Versi Ihwanul Halim)
“Kenan, kamu sudah siap?” tanya Tomi. Kenan merasa nafasnya sesak. Udara diparu-parunya meluap-luap, “Saatnya aku harus pergi, Kenan,” kata Tomi sambil tersenyum.
“Kamu harus bangkit. Kamu harus berusaha, dan pasti bisa. Aku akan selalu mendukungmu, dari jauh.” Tomi menempelkan ciuman hangat di pipinya. Dan mendadak seberkas cahaya terang menyilaukan menerpa Tomi. Perlahan, Tomi melayang naik, tegak lurus ditarik oleh sinar yang makin terang, membuat Kenan menutup matanya tak tahan akan silau yang membutakan.
“Dokter! Ia sudah sadar!” Kenan membuka matanya. Semua serba putih, namun bukan karena cahaya. Bau obat memenuhi rongga hidungnya. Suara denyut mesin. Kelopak matanya terbuka penuh.
“Di mana aku?” tanyanya, dan ia heran dengan suaranya yang terdengar asing. Serak. Kering.
“Ruang ICU. Kamu sudah seminggu koma. Sekarang beristirahatlah.” Seorang laki-laki dengan wajah yang teduh. Daristetoskop yang menggantung di lehernya, pastilah seorang dokter.
“Aku haus…,” Kenan berbisik serak.
***
Kenan berdiri memandang gundukan tanah yang masih lembap di hadapannya. Pada batu nisan tertulis:
BERISTIRAHAT DENGAN TENANG
NANA HITOMI