Adam.
Nahas, beberapa hari kemudian, terjangan mulas hebat kurasakan sebelum diriku terpaksa dilarikan ke rumah sakit. Kusentuh dan kuremas perutku. Tak pernah kurasakan pedih dari kehilangan sebesar ini.
*
Sekelebat rentetan keping-keping adegan dalam hidupku kembali terputar di benak. Kali ini gambarannya lebih jelas.
Inilah jawaban dari mimpi terakhir yang datang dua puluh lima tahun silam. Sekonyong-konyong, segumpal keyakinan datang menenteramkan hatiku.
Rupanya memang mustahil menentang kehendak takdir. Hidup memang sebuah permainan. Namun aku yakin, orang-orang kelak akan mendapati senyum tipis tercetak di wajahku yang kaku dan dingin.
Itu adalah karena apa yang kusaksikan di akhir umurku. Bukan lorong gelap yang akan kutemui. Melainkan sosok yang paling kurindukan. Yang telah menungguku dengan sabar di ujung sana.
Dia, yang takkan pernah lagi tersesat.
Adam. Putraku yang sudah mati sebelum sempat kulahirkan.[]
Â
TAMAT