***
Bertahun-tahun dan ribuan purnama telah berlalu sejak peristiwa ganjil itu. Perjalanan nyaris menjemput maut beberapa kali kutemui. Selalu kuhadapi dengan penuh keyakinan bahwa belum waktunya.
Karena mimpiku itu.
Turbulensi parah saat menumpangi pesawat, usus buntu yang nyaris pecah. Dan terakhir, saat persalinanku terpaksa diakhiri.
Kejadian itu tak pernah pudar dari ingatan. Tubuhku yang tergolek di atas brankar, didorong memasuki ruang ICU. Lampu-lampu silau neon menyoroti. Rentetan kilasan gambar dalam mimpiku yang dahulu kabur kini menjadi terang begitu kujalani di kehidupan nyata.
Saat itu dokter harus mengambil prosedur tindakan yang cepat demi menyelamatkan nyawa pasien. Persalinanku harus disegerakan. Aku menganggukkan persetujuan tindakan bedah dengan tenang. Mungkin karena bawah sadarku meyakini satu hal. Belum ajalku. Tetapi ternyata suara tangisan yang kunanti tak kunjung datang. Bayi yang kulahirkan sudah tak bernyawa.
Stillbirth, baru kuketahui istilahnya kemudian. Lama setelah kejadiannya usai.
Kerap kali kusentuh luka yang melintang panjang di perut kempisku. Luka sesar tanpa kelahiran itu. Hanya melahirkan kematian.
***
2024
Di ujung usia ke-42, aku tak pernah merasa sesehat dan sebugar saat ini. Aku semakin meyakini bahwa ramalan mimpi itu meleset kali ini. Ah, memang tak ada gunanya merawat kenangan paranoid dari masa remaja.