Aku ingat alasan sulit bagiku untuk mengelak permintaannya dari menunjukkannya jalan pulang. Wajahnya dan tatapan matanya yang kosong, sungguh familier. Membuatku sulit berpaling. Mirip dengan wajah diriku di masa kecil.
Hanya sesaat aku melirik pada Dimas, sebelum kembali ke arah jalan. Namun tiba-tiba saja, sebuah kendaraan pick-up oleng dan meluncur cepat ke arah kami.
Kejadiannya hanya sepersekian detik, tetapi segalanya terasa seperti dalam gerak lambat.
Dimas tiba-tiba saja menggenggam kuat lenganku. Cengkeramannya sungguh dingin.
"Ibu, jangan takut. Ada Adam di sini. Temani Ibu terus."
Jantungku seakan berhenti berdetak.
Kini teringat kembali alasan gelombang rasa dejavu yang menyapuku saat menyetir mobil keluar gerbang.
      Pria yang barusan kusaksikan di depan gerbang sekolah adalah sama dengan pemuda yang menunggu di depan gapura pohon kala itu.
"Terima kasih, kau telah mengantarkan Adam pulang. Hanya permohonan doa yang bisa kami ajukan sebagai balasan."
*
"Kau ingin memberinya nama apa?" Rio pernah bertanya seraya mengelus perut besarku. Aku belum pernah mengucapkannya, khawatir pamali. Tetapi sudah sering menuliskannya di secarik kertas. Berulang-ulang.