Â
Penelitian yang dilakukan di luar Indonesia mengenai hambatan ekspor yang dilakukan oleh UMKM telah banyak dilakukan. Seperti misalnya kurangnya pengetahuan pasar ekspor yang potensial (Hutchinson et al, 2006; Moini, 1997; Leonidou, 1995 dalam Arteaga-Ortiz dan Fernndez-Ortiz, 2010), kurangnya pengetahuan mengenai program bantuan ekspor (Arteaga-Ortiz dan Fernndez-Ortiz 2010), pengabaian terhadap manfaat finansial dan nonfinansial yang dapat diperoleh dari kegiatan ekspor (Arteaga-Ortiz dan Fernndez-Ortiz, 2010), biaya tinggi dari pembayaran yang digunakan dalam operasi internasional (Arteaga-Ortiz dan Fernndez-Ortiz, 2010), dan sebagainya. Ditelaah lebih lanjut, dapat terlihat dengan jelas bahwa semua hambatan dalam melakukan ekspor yang diteliti tersebut berkaitan erat dengan rendahnya performa UMKM baik dari segi internal maupun eksternal UMKM.[9]
Â
      Masalah utama mengenai ekspor di Indonesia adalah banyaknya ekspor hanya karena pemenuhan pemesanan atau pembeli jemput bola yang sifatnya stagnan, bukan bersifat melakukan inisiatif untuk jemput bola ke luar negara-negara untuk menjajakan produknya. Produk ekspor Indonesia dapat dikatakan merupakan produk yang menarik, namun tak memiliki daya saing dan itu menjadi sebuah kelemahan Indonesia.[10] Dorongan untuk unjuk gigi produk-produk dari Indonesia kepada pasar global juga sangat minim.
Â
      Selain masalah-masalah ekspor di Indonesia yang masih banyak hambatan, Indonesia juga masih memiliki masalah mengenai impor. Ketika masalah ekspor yang harus didorong secara serius lagi oleh pemerintah dan terus berupaya untuk memperbanyak produk-produk untuk diekspor dengan tujuan menambah devisa negara dan mempromosikan Indonesia di mata dunia, maka pada kasus impor, negara harus berupaya meminimalisir kegiatan impor.[11] Karena pada dasarnya impor akan mengurangi devisa negara. Pada permasalahan di Indonesia, kasus impor lebih banyak dan tidak dibarengi dengan banyaknya kegiatan ekspor, sehingga terjadi defisit.Â
Â
Berlebihnya kasus impor di Indonesia terjadi karena selain kurangnya produksi dalam negeri, juga tak lepas dari permasalahan para pejabat yang sengaja untuk setuju melakukan impor, sehingga setelahnya dapat mengambil keuntungan dari dana impor yang diberikan. Selain itu, masih banyak terdapat kasus penyelundupan barang-barang dari luar negeri, namun dapat dengan mudah masuk ke Indonesia. Sangat mungkin terdapat kesepakatan pribadi antara pejabat terkait dengan tujuan keuntungan pribadi. Tindak pidana penyelundupan tersebut menimbulkan kerugian bagi negara dalam jumlah yang besar, sehingga berdampak pada devisa negara.[12] Hal itu pula berimbas pada ketahanan ekonomi bagi Indonesia. Seharusnya para pemegang kekuasaan memberikan contoh kepada masyarakat dalam rangka upaya penguatan ketahanan negara, utamanya dalam bidang ekonomi lewat kegiatan impor yang memberi sumbangsih devisa pada negara.Â
Â
Pada Januari 2020, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan telah membongkar modus baru barang impor selundupan yaitu dengan memalsukan merek lokal dengan produk yang didatangkan dari China sesuai dengan spesifikasi pesanan importir. Para penyelundup atau importir membuat barang dengan merek made in Indonesia, padahal barang tersebut impor. Hal ini tentunya merugikan pemilik merk lokal tersebut.
Â