"Masuk akal," kataku sambil mengangguk-angguk.
"Iya," jawabnya lirih.
Aku menggeser dudukku lebih dekat padanya, menaikkan kerah jaketku, menaikkan kerah jaket Senja---angin Muson Barat terlalu basah. Lalu, aku meraih kepalanya, menidurkannya di bahuku, lalu aku memeluk pinggangnya.
"Jika aku terdampar di sebuah pulau dan hanya memiliki satu bungkus roti lagi, aku akan memakannya pelan-pelan. Aku akan menikmati tiap gigitannya. Aku tidak akan memilih melemparkan roti itu jauh-jauh dengan alasan aku akan berusaha menyesuaikan diri sejak dini dengan rasa lapar yang nantinya akan aku alami."
"Tapi kamu bukan roti dan masalahku bukan makanan."
"Aku tahu. Aku bukan roti dan masalahmu bukan makanan. Tapi, masalahmu pun tidak ditentukan akhirnya sekarang. Segala hal di depanmu adalah misteri. Aku adalah bagian dari misteri itu. Namun, bukan berarti aku tidak bisa ditebak."
"Kita tidak bisa menebak bagaimana manusia nanti."
"Tentu saja. Namun pilihannya juga hanya dua. Dan itu pilihan yang pantas karena peluangnya besar untuk mendapatkan apa yang kita inginkan. Yaitu kebaikan. Dan peluang untuk mendapatkannya makin besar karena aku telah hidup lama bersamamu. Namun, bukan berarti ketakutanmu tidak beralasan."
Lalu, aku mengusap-usap punggung Senja. Senja membalas dengan mengusap-usap pahaku. Ia juga mencari-cari tangan kananku. Setelah menemukannya, ia meremas jari-jariku dengan lembut. Senja masih sehangat dulu.Â
Sejak kepergiannya, aku sering berpikir akan bertemu orang yang berbeda setelah kepulangannya. Mungkin, pada saat itu, aku tidak akan mengenalinya lagi. Ia akan berubah menjadi orang lain dan aku akan tersedak setengah mati karenanya. Namun, setelah melihat keadaannya sekarang, Senja masihlah Senja. Entah bagaimana nanti.
"Kenapa kamu suka sekali dengan senja?" tanyaku membelah keheningan di antara aku dan Senja dalam ramai debur ombak.