Mohon tunggu...
Nugraha Wasistha
Nugraha Wasistha Mohon Tunggu... Penulis - Penulis lepas

Penggemar bacaan dan tontonan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Amuk Hayam Wuruk

8 Agustus 2021   11:11 Diperbarui: 25 Agustus 2021   10:31 1390
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar diolah dari Wallpaper Tip

Hayam Wuruk, Sang Maharaja Majapahit, tak habis pikir. Dia diculik pengawal pribadinya sendiri, Senopati Angkrang, dan ditahan dalam benteng terpencil. Meski tujuannya jelas untuk merebut kekuasaan, masih ada pertanyaan yang mengganjal.

Mengapa Senopati Angkrang tak membunuhnya dan bahkan memperlakukannya dengan sangat hormat? Rencana licik apa yang tengah dipersiapkan pengkhianat itu?

Lebih aneh lagi, Sang Senopati seperti cuma buang-buang waktu saja dengannya. Dia menemui Hayam Wuruk setiap hari, tapi bukan untuk menuntut ini dan itu. Hanya mengajaknya bicara. Tentu saja Hayam Wuruk mengacuhkan. Setidaknya di awal-awal.

Tapi Senopati Angkrang tidak menyerah. Dia terus mencoba tiap hari, tanpa kehilangan kesabaran. Bahkan tak jarang berbicara sendiri. Kalau sudah begitu, dia bisa lama sekali. Dan tidak masalah walau Hayam Wuruk sama-sekali tak menanggapi.

Namun tiap kali Senopati Angkrang bicara padanya, Hayam Wuruk jadi tahu lebih banyak tentang pengawal pribadinya itu. Selama ini Hayam Wuruk cenderung menganggapnya sebagai sosok yang sederhana. Sosok yang terlihat baik dan setia, tapi tak cukup cerdas untuk memahami masalah kenegaraan tingkat tinggi. Ternyata semua itu cuma pura-pura!

Senopati Angkrang ternyata sangat terpelajar. Dia bisa bicara panjang-lebar tentang sejarah kerajaan-kerajaan di Jawa, kebangkitan dan kemundurannya, termasuk intrik-intrik yang terjadi di dalamnya. Pengetahuannya tak kalah dengan Empu Tantular. Bahkan cara berceritanya lebih lugas, tanpa basa-basi. Mau tak mau Hayam Wuruk merasa kagum dibuatnya.

"Kenapa bekas maling dan penipu seperti Ken Arok berhasil merebut tahta Singasari, sementara Ra Kuti yang berlatar prajurit Bhayangkara gagal merebut mahkota Majapahit?" kata Senopati Angkrang suatu ketika.

"Karena pengalaman di dunia hitam membuat Ken Arok tahu cara memanipulasi orang," sambung Sang Senopati. "Ra Kuti tak memiliki kelebihan itu. Tentu saja dia kalah melawan Mahapatih Gajah Mada - yang lebih mirip Ken Arok."

Kalimat terakhir itu membuat Hayam Wuruk tertarik. Maklum, dia belum lama tahu bahwa Gajah Mada adalah ayah kandungnya. Dia tahu setelah ibunya, Tribuana Tunggadewi, bercerita - menyusul peristiwa berdarah di Bubat yang membuat Hayam Wuruk mengusir Gajah Mada.

"Mengapa kau menyamakan Ken Arok dengan ayahanda?" tanya Hayam Wuruk. Akhirnya dia buka mulut, meski tahu itu kesalahan. Berarti Senopati Angkrang berhasil juga mengajaknya bicara. Tapi rasa ingin tahunya terlalu kuat untuk dilawan.

"Sepertinya Gusti Ratu Tunggadewi tak bercerita apa adanya pada Paduka," sahut Senopati Angkrang. "Gusti Ratu tak bercerita bahwa Gajah Mada sebenarnya tak menginginkan anak dari beliau. Itu sebuah kecelakaan. Gajah Mada mendekati Gusti Ratu hanya untuk meraih tahta. Seperti Ken Arok yang menikahi Ken Dedes."

Hayam Wuruk mengerutkan kening. Dia siap mendengar apapun dari Senopati Angkrang, tapi bukan hal seperti itu. Sesuatu yang terlalu pahit di telinganya. Dengan wajah merah-padam, dia membentak, "Kau pembohong!"

Senopati Angkrang tak marah dibentak demikian. Dia memandang Hayam Wuruk dengan penuh simpati. "Hamba mohon maaf jika itu bukan sesuatu yang Gusti Prabu ingin dengar. Ini kesalahan hamba. Jika memang Gusti kehendaki, hamba tidak akan membicarakan soal ini lagi."

Hayam Wuruk nampak bimbang. Apa yang dikatakan Senopati Angkrang memang menyakitkan, tapi belum tentu bohong belaka. Tak ada salahnya membiarkan dia bicara. Itu lebih baik dari pada terus bertanya-tanya. Sambil menghela nafas, akhirnya Hayam Wuruk berkata, "Tidak, lanjutkan saja. Aku ingin mendengar semua ocehanmu!"

"Jika itu keinginan Gusti Prabu," sahut Senopati Angkrang. "Gajah Mada itu punya ambisi untuk berkuasa. Memanfaatkan penderitaan Gusti Ratu Tunggadewi saat Jayanegara berkuasa, dia tak kesulitan mempengaruhi Gusti Ratu untuk membenci kakaknya itu. Sekaligus membuat Gusti Ratu jatuh hati kepadanya."

Apa yang dikatakan Senopati Angkrang tentu cukup mengguncang Hayam Wuruk. Maharaja muda itu cukup kenyang dengan cerita burung tentang kehidupan pendahulunya, tetapi tak pernah sepribadi ini. "Maksudmu...bukan Ra Kuti yang berada di belakang pemberontakan terhadap pamanda Jayanegara, tetapi Gajah Mada sendiri?"

Senopati Angkrang mengangguk. "Gajah Mada tahu Ra Kuti juga punya ambisi besar. Karena itu - seperti Ken Arok memperalat Kebo Ijo - dia pun memancing Ra Kuti berontak, lalu membunuhnya setelah Jayanegara tewas. Dengan demikian, dua pulau terlampaui sekaligus. Menjadi pahlawan bagi Majapahit dan membuat Gusti Ratu jatuh hati padanya."

Senopati Angkrang memperhatikan reaksi Hayam Wuruk saat mendengar ceritanya. Apa yang terlihat membuatnya gembira. Hayam Wuruk nampak terdiam. Tapi sama-sekali tidak tenang. Kentara sekali menahan gejolak perasaan. Seperti orang yang menolak kenyataan yang pahit.

"Hah, mengapa aku harus mempercayaimu," sungut Hayam Wuruk sambil membuang muka. "Bagaimanapun, kaulah yang membawaku ke tempat ini dengan paksa."

Senopati Angkrang tersenyum dalam hati. Dia tahu kata-katanya telah tertanam di batin Hayam Wuruk. Penyangkalan yang dia dengar justru membuktikan hal itu. "Hamba tak membantah hal itu, Gusti. Tapi hamba melakukannya karena alasan yang benar. Bukan saja demi Majapahit, tapi juga untuk keselamatan Gusti Prabu sendiri."

Hayam Wuruk seketika melotot marah. "Untuk keselamatanku? Jadi kau menculik diriku, setelah membantai ratusan prajurit Bhayangkara yang mengawalku, karena kau sangat peduli pada keselamatanku? Kau kira aku sebodoh itu?"

"Hamba tahu ini memang sukar dipercaya," kata Senopati Angkrang dengan tenang. "Tapi ada alasan kenapa hamba sampai membangun pasukan sendiri, dan menyuruh mereka menyerang pasukan Bhayangkara yang mengawal Gusti Prabu. Sesungguhnya pasukan Bhayangkara itu dalam arahan untuk membunuh Gusti Prabu, jika saatnya tepat!"

"Membunuhku?" Hayam Wuruk berteriak saking kaget dan marahnya. "Dan siapa yang mengarahkan mereka untuk melakukannya?"

"Hamba yakin Gusti Prabu sendiri tahu jawabannya," sahut Senopati Angkrang kalem. "Apakah Gusti percaya Gajah Mada mau begitu saja diusir dari lingkar kekuasaan? Ya, Gajah Mada bersiap melakukan pemberontakan, meski terhadap keturunannya sendiri. Itu bukan soal karena dia memang tak menyayangi Gusti Prabu."

Hayam Wuruk begitu terkejut sampai terhuyung mundur beberapa langkah. Dia terus membelalak ke arah lawan bicaranya, seolah berusaha keras menemukan jejak kebohongan di raut mukanya. "Tidak...itu tidak mungkin...itu mustahil...!"

"Hamba takkan bersikeras," Senopati Angkrang bertahan dengan ketenangannya. "Hamba hanya minta Gusti bertanya pada diri sendiri. Jika Gajah Mada menyayangi Gusti Prabu, mengapa Gajah Mada tak memberi tahu bahwa Gusti adalah anaknya? Bukankah setiap orang tua menginginkan pengakuan, jika dia memang menyayangi anaknya?"

Rentetan pertanyaan itu ternyata lebih ampuh dari petuah atau bujukan. Hayam Wuruk kelihatan terpojok. Dia menggeleng-geleng dengan sikap memelas. Kakinya mendadak gemetaran sampai akhirnya tak kuat berdiri. Sang Maharaja muda itu terduduk lunglai. Jawaban semua pertanyaan itu terbaca jelas di wajahnya.

"Jadi," ujarnya pelan seperti pada dirinya sendiri, "dengan membawaku ke sini, Paman Angkrang merusak rencana jahanam itu?"

"Tidak sepenuhnya," sahut Senopati Angkrang. "Gajah Mada selalu punya rencana cadangan. Hamba yakin yang dilakukannya setelah ini justru berbalik dari rencana awal. Dia akan berpura-pura mau menyelamatkan Gusti Prabu. Nantinya dia akan mengumumkan Gusti meninggal dalam upaya penyelamatan."

Pada saat itulah terdengar rangkaian suara gemuruh yang memekakkan telinga. Beberapa api unggun yang mengelilingi benteng tiba-tiba meledak menghamburkan api dan gelombang kehancuran ke segala arah. Pasukan yang berjaga di luar seketika porak-poranda.

Memperhatikan semua itu dari dalam benteng, Senopati Angkrang tersenyum tipis. "Dan sepertinya dia sudah datang!"

Hayam Wuruk langsung berdiri. Matanya bersinar penuh kemarahan, tapi bukan lagi pada Senopati Angkrang. "Biar aku saja yang menghadapinya, Paman!"

Senopati Angkrang memegang bahu Maharaja muda tersebut. Sikapnya bak seorang bapak yang bersedia berkorban buat sang anak. "Tidak. Gusti Prabu tunggu saja di sini. Biar hamba yang menangani. Gajah Mada mungkin bisa menembus sampai ke dalam benteng, tapi Gusti tak perlu khawatir. Hamba punya kejutan untuknya."

Hayam Wuruk kelihatan ragu, tapi akhirnya mengangguk. Dia tetap berdiri diam saat Senopati Angkrang berlari menuju bagian depan benteng. Terdengar suara pedang saling beradu di sana. Sepertinya pengawal pribadinya itu benar. Gajah Mada sudah berada di dalam. Bangsat itu benar-benar prajurit pilih tanding!

Kesimpulan itu membuat Hayam Wuruk berubah pikiran. Dia memutuskan untuk menyusul Senopati Angkrang. Menghampiri sumber keributan. Suara perkelahian tak lagi terdengar, digantikan teriakan-teriakan. Dia melihat sosok besar menyudutkan Senopati Angkrang dengan sebilah keris teracung.

"Berhenti!"

Seruannya mengejutkan sosok besar yang ternyata Gajah Mada. Dia nampak terkejut melihat kehadirannya, sampai-sampai melupakan Senopati Angkrang yang masih dia cengkeram.

"Selamat datang, Ayah," kata Hayam Wuruk dengan nada sinis. "Ya, aku tahu kau adalah ayahku. Dan aku juga tahu kenapa kau menutupinya. Senopati Angkrang telah menjelaskan semua. Kau menutupi karena kau tak menyayangiku. Seperti kau tak benar-benar mencintai ibunda Ratu Tunggadewi. Bagimu, kami hanya alat untuk menggapai hasratmu akan tahta."

"Dengar," kata Gajah Mada, seraya melepaskan Senopati Angkrang, "Memang salahku tak pernah memberi tahu dirimu. Tapi aku melakukannya bukan karena tak menyayangi dirimu. Justru sebaliknya. Aku...aku tak punya nyali menikahi seorang ratu. Dirimu pantas memiliki ayah yang sederajat dengan ibumu. Bukan yang derajatnya rendah seperti aku."

Hayam Wuruk terdiam sesaat sebelum berkata, "Jadi kau benar-benar menyayangiku? Seperti wajarnya seorang ayah menyayangi putranya?"

"Aku menyayangimu lebih dari nyawaku sendiri," sahut Gajah Mada - hampir-hampir tanpa menyadarinya.

"Kalau begitu berikan keris itu padaku," sambar Hayam Wuruk tegas.

Gajah Mada nampak ragu sejenak. Tapi akhirnya diberikan juga keris itu pada Hayam Wuruk - yang kemudian mengacungkannya tinggi-tinggi seraya berkata, "Ingat saat kau mengajariku dulu tentang bagian-bagian tubuh yang paling tepat untuk ditikam dengan keris?"

Tanpa menunggu jawaban Gajah Mada, Hayam Wuruk bergerak cepat. Dia tusuk ayahnya dengan keris yang ada di tangan. Mantan Mahapatih itu hanya bisa menatap nanar, sebelum akhirnya roboh ke lantai batu.

Mengamati semua itu, Senopati Angkrang sangat kegirangan. Usahanya memanipulasi Hayam Wuruk ternyata lebih berhasil dari dugaannya semula. Tadinya dia hanya berharap Sang Maharaja muda tersebut jadi berjarak dengan ayahnya. Itu sudah cukup. Tapi apa yang terjadi barusan jauh lebih baik lagi.

Dia pun menghampiri Hayam Wuruk dan menepuk pundaknya sekali lagi. "Sebenarnya Gusti Prabu tidak perlu melakukan itu. Tapi saya bisa memakluminya. Sekarang marilah kita kembali pulang ke Kutaraja. Ancaman terbesar terhadap tahta sudah tidak ada lagi."

Tapi Hayam Wuruk menggelengkan kepala, lalu berkata, "Tidak, Paman Angkrang. Masih ada satu ancaman lagi. Yang terbesar. Dan aku harus melenyapkannya sesegera mungkin."

Senopati Angkrang mengerutkan kening. "Tapi...hamba tidak mengerti. Gajah Mada sudah tidak bernyawa. Dialah ancaman terbesar itu. Siapa lagi yang masih tersisa?"

Saat itulah Hayam Wuruk tiba-tiba tersenyum dingin. Matanya berkilat-kilat saat berkata, "Tentu saja dirimu sendiri, Paman Angkrang!"

Dan sebelum Senopati Angkrang menyadari apa yang terjadi, Hayam Wuruk sudah menusuknya tepat di dada. Si pengkhianat itu terbelalak. Kaget setengah mati. Menyusul Gajah Mada, dia pun roboh sambil memegang dada. Darah mengucur deras dari sana.

"Aku berterima kasih atas pelajaran yang Paman berikan padaku," Hayam Wuruk menatapnya tanpa belas kasihan. "Tentang bagaimana Paman berpura-pura jadi pengawal yang setia, untuk membuatku kehilangan kewaspadaan. Itulah yang kulakukan tadi. Aku berpura-pura termakan hasutan, agar Paman jadi kurang waspada juga. Bagaimana penampilanku, Paman? Cukup meyakinkan, bukan?"

Senopati Angkrang menggeram sambil melotot. Kemarahan menguar dari raut wajah yang semula didominasi kesakitan. Dengan sisa-sisa tenaganya dia berteriak, "PENGAWAAAAL....!"

Dan, tiba-tiba saja, dari segala penjuru kegelapan bermunculan sosok-sosok bersenjatakan busur dan anak panahnya. Semua membidik Hayam Wuruk. Tak ada celah bagi Sang Maharaja muda untuk bisa lolos. Tapi anehnya, yang bersangkutan tetap tenang.

"Aku tahu kalian mengangkat senjata karena dibayar Senopati Angkrang," ujarnya tenang namun berwibawa. "Masalahnya, seperti yang kalian lihat, Senopati Angkrang sudah sekarat. Tak ada lagi yang membayar kalian. Tapi tak usah khawatir. Jika kalian mau mengalihkan kesetiaan padaku, akan kubayar sepuluh kali lipat. Bagaimana?"

Pasukan panah itu saling berpandangan. Untuk sesaat mereka seperti diliputi kebingungan. Sampai akhirnya salah-satu dari mereka meletakkan busur, berlutut memberi hormat, dan berseru, "Hidup Maharaja Hayam Wuruk!"

Dan, satu demi satu, pemanah lain melakukan hal yang sama. Meletakkan senjata dan berlutut di hadapan Hayam Wuruk. Seruan pertanda kesetiaan pun menggema di antara mereka. Sesuatu yang membuat Senopati Angkrang hanya bisa ternganga.

"Bukankah Paman sendiri mengatakan ayahanda itu sama liciknya dengan Ken Arok," ujar Hayam Wuruk sambil menyeringai. "Jika demikian, seharusnya Paman harus berhati-hati saat berhadapan dengan keturunannya. Bukankah buah jatuh tidak jauh dari pohonnya?"

Senopati Angkrang hanya bisa menatap Hayam Wuruk dengan jengkel. Dia tahu sudah kalah telak. Lebih celaka lagi, sebentar lagi dia akan mati. Kendati demikian, sambil berusaha tersenyum tabah, dia berkata, "Paling tidak, aku sudah membuatmu kehilangan pohon dari mana kau jatuh..."

Mendengar itu, Hayam Wuruk malah menyeringai makin lebar. Dia pun menoleh ke arah Gajah Mada yang berbaring tak bergerak, lalu berkata, "Kurasa Ayahanda sudah bisa bangun sekarang."

Ajaib, Gajah Mada yang sebelumnya berbaring diam tahu-tahu bangkit kembali. Dia mencengkeram bagian tubuhnya yang terluka ditusuk Hayam Wuruk. Luka tersebut nyata dan tidak dibuat-buat. Tapi anehnya tidak ada darah mengucur. Dan Gajah Mada tidak nampak kesakitan. Tentu saja Senopati Angkrang tercengang. Matanya hampir-hampir copot melihat 'keajaiban' itu.

"Tak usah kaget, Paman," ujar Hayam Wuruk. "Aku sudah bilang bahwa Ayahanda pernah mengajari tentang bagian tubuh yang tepat untuk ditusuk. Tepat itu bermakna ganda. Tepat karena menimbulkan kematian, dan tepat karena tidak mematikan. Aku menusuk ayahanda di bagian terakhir. Dipadukan dengan totokan untuk menghentikan peredaran darah, maka luka yang ditimbulkan takkan berakibat fatal."

Gajah Mada menatap putranya dengan perasaan bangga - sekaligus bersalah. "Anakku, kau telah mengatasi masalah ini dengan cara cerdas. Maafkan ayahmu yang meremehkan dirimu selama ini. Peristiwa Bubat tak perlu terjadi kalau aku mempercayai kedewasaanmu dalam mengambil keputusan..."

Hayam Wuruk menarik nafas dalam-dalam. "Hamba bisa memaafkan semua tindakan Ayahanda selama ini, kecuali dalam peristiwa Bubat. Betapapun, hamba kehilangan gadis yang sangat hamba cintai dalam peristiwa itu. Dan itu tanggung-jawab Ayahanda. Karenanya, hukuman terberat harus tetap kuberikan pada Ayahanda."

Gajah Mada mengangguk tanpa ragu. "Aku bisa mengerti, Anakku. Tragedi Bubat itu menunjukkan aku sudah tak pantas lagi menjadi Mahapatih. Aku sudah melanggar perintah Maharaja, dan tak ada hukuman yang lebih pantas selain hukuman mati." 

Tapi Hayam Wuruk menggelengkan kepala. "Tidak, Ayahanda. Sebagai sosok yang berani menentang maut, hukuman mati tentulah terlalu ringan buat Ayahanda. Hamba harus memberikan hukuman yang lebih mengerikan daripada kematian. Hanya dengan cara itu, hamba baru bisa memaafkan Ayahanda."

Tentu saja Gajah Mada merasa kaget mendengarnya. Tetapi dia hanya bisa pasrah. Biar bagaimanapun, kesalahannya memang besar. Dia menyadari itu, dan siap menjalani hukuman yang diberikan. Betapapun mengerikan. "Jika kau menginginkan seorang algojo untuk menyiksaku sepanjang hayat, tetap akan kujalani, Anakku."

"Jika demikian, ikutlah bersama hamba pulang ke Kutaraja," sahut Hayam Wuruk. "Setiba di sana, segera temuilah sang algojo yang akan memberikan siksaan paling mengerikan buat Ayahanda. Dia bernama Tribuana Tunggadewi. Dan siksaan mengerikan yang kuberikan buat Ayahanda adalah menikahinya."

Tentu saja Gajah Mada melongo.

Hayam Wuruk terkekeh jahil. "Bukankah Ayahanda sendiri tadi bilang bahwa tak punya nyali menikahi seorang Ratu seperti Ibunda Tunggadewi? Jadi hamba yakin, menikahi Ibunda pasti lebih mengerikan buat Ayahanda daripada menjalani hukuman mati."

Gajah Mada terpana. Haru. Bahagia. Bingung. Dan...yah, takut. Semua perasaan itu bercampur menjadi satu. Dicobanya untuk mengatakan sesuatu, tapi lidahnya terasa kelu. Akhirnya hanya satu yang berhasil dia lakukan. Memeluk Hayam Wuruk erat-erat.

Saat itulah Senopati Angkrang tertawa terbahak-bahak. Sesuatu yang mengejutkan mengingat dia sedang sekarat. "Maaf, bukannya ingin merusak akhir yang bahagia ini. Tapi aku tak tahan untuk tertawa melihat adegan mengharukan ini, mengingat apa yang akan kalian temui di Kutaraja nanti!"

Ada sesuatu pada ucapan Senopati Angkrang yang membuat Hayam Wuruk seketika merasa cemas. "Apa maksudmu, Bedebah?"

Sang Senopati menyeringai jahat. "Kalian kira aku tak menyiapkan rencana cadangan? Seperti Ra Kuti yang menyiapkan Ra Semi saat gagal membunuh Jayanegara, aku pun sudah menyiapkan seseorang di Keraton untuk melaksanakan rencana kedua. Pasti lebih mudah menghadapi seorang perempuan setengah baya seperti Tunggadewi..."

Hayam Wuruk langsung naik pitam. Dia mencengkeram leher Senopati angkrang dan berteriak, "Rencana apa? Apa yang kau lakukan pada Ibunda Tunggadewi?"

Terlambat. Sebelum menghembuskan nafas terakhir, Senopati Angkrang hanya berkata, "Tunggu...tanggal mainnya!"

....

Catatan: menurut pengarang sekaligus pediatri Jordyn Redwood, penusukan di abdomen bawah tidak harus berakibat fatal selama tusukan tidak terlalu dalam dan tidak mengenai organ vital.

Cerpen ini adalah sekuel keempat dari cerpen Smaradahana Sang Gajah Mada. Sekuel pertama adalah Mimpi Buruk Hayam Wuruk. Yang kedua Kisah Sedih Sang Mahapatih. Dan yang ketiga Gajah Mada Yudha.


Kisah ini murni imajinasi dan tidak berdasar pada sumber sejarah manapun juga.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun