Tanpa menunggu jawaban Gajah Mada, Hayam Wuruk bergerak cepat. Dia tusuk ayahnya dengan keris yang ada di tangan. Mantan Mahapatih itu hanya bisa menatap nanar, sebelum akhirnya roboh ke lantai batu.
Mengamati semua itu, Senopati Angkrang sangat kegirangan. Usahanya memanipulasi Hayam Wuruk ternyata lebih berhasil dari dugaannya semula. Tadinya dia hanya berharap Sang Maharaja muda tersebut jadi berjarak dengan ayahnya. Itu sudah cukup. Tapi apa yang terjadi barusan jauh lebih baik lagi.
Dia pun menghampiri Hayam Wuruk dan menepuk pundaknya sekali lagi. "Sebenarnya Gusti Prabu tidak perlu melakukan itu. Tapi saya bisa memakluminya. Sekarang marilah kita kembali pulang ke Kutaraja. Ancaman terbesar terhadap tahta sudah tidak ada lagi."
Tapi Hayam Wuruk menggelengkan kepala, lalu berkata, "Tidak, Paman Angkrang. Masih ada satu ancaman lagi. Yang terbesar. Dan aku harus melenyapkannya sesegera mungkin."
Senopati Angkrang mengerutkan kening. "Tapi...hamba tidak mengerti. Gajah Mada sudah tidak bernyawa. Dialah ancaman terbesar itu. Siapa lagi yang masih tersisa?"
Saat itulah Hayam Wuruk tiba-tiba tersenyum dingin. Matanya berkilat-kilat saat berkata, "Tentu saja dirimu sendiri, Paman Angkrang!"
Dan sebelum Senopati Angkrang menyadari apa yang terjadi, Hayam Wuruk sudah menusuknya tepat di dada. Si pengkhianat itu terbelalak. Kaget setengah mati. Menyusul Gajah Mada, dia pun roboh sambil memegang dada. Darah mengucur deras dari sana.
"Aku berterima kasih atas pelajaran yang Paman berikan padaku," Hayam Wuruk menatapnya tanpa belas kasihan. "Tentang bagaimana Paman berpura-pura jadi pengawal yang setia, untuk membuatku kehilangan kewaspadaan. Itulah yang kulakukan tadi. Aku berpura-pura termakan hasutan, agar Paman jadi kurang waspada juga. Bagaimana penampilanku, Paman? Cukup meyakinkan, bukan?"
Senopati Angkrang menggeram sambil melotot. Kemarahan menguar dari raut wajah yang semula didominasi kesakitan. Dengan sisa-sisa tenaganya dia berteriak, "PENGAWAAAAL....!"
Dan, tiba-tiba saja, dari segala penjuru kegelapan bermunculan sosok-sosok bersenjatakan busur dan anak panahnya. Semua membidik Hayam Wuruk. Tak ada celah bagi Sang Maharaja muda untuk bisa lolos. Tapi anehnya, yang bersangkutan tetap tenang.
"Aku tahu kalian mengangkat senjata karena dibayar Senopati Angkrang," ujarnya tenang namun berwibawa. "Masalahnya, seperti yang kalian lihat, Senopati Angkrang sudah sekarat. Tak ada lagi yang membayar kalian. Tapi tak usah khawatir. Jika kalian mau mengalihkan kesetiaan padaku, akan kubayar sepuluh kali lipat. Bagaimana?"