Tentu saja Gajah Mada merasa kaget mendengarnya. Tetapi dia hanya bisa pasrah. Biar bagaimanapun, kesalahannya memang besar. Dia menyadari itu, dan siap menjalani hukuman yang diberikan. Betapapun mengerikan. "Jika kau menginginkan seorang algojo untuk menyiksaku sepanjang hayat, tetap akan kujalani, Anakku."
"Jika demikian, ikutlah bersama hamba pulang ke Kutaraja," sahut Hayam Wuruk. "Setiba di sana, segera temuilah sang algojo yang akan memberikan siksaan paling mengerikan buat Ayahanda. Dia bernama Tribuana Tunggadewi. Dan siksaan mengerikan yang kuberikan buat Ayahanda adalah menikahinya."
Tentu saja Gajah Mada melongo.
Hayam Wuruk terkekeh jahil. "Bukankah Ayahanda sendiri tadi bilang bahwa tak punya nyali menikahi seorang Ratu seperti Ibunda Tunggadewi? Jadi hamba yakin, menikahi Ibunda pasti lebih mengerikan buat Ayahanda daripada menjalani hukuman mati."
Gajah Mada terpana. Haru. Bahagia. Bingung. Dan...yah, takut. Semua perasaan itu bercampur menjadi satu. Dicobanya untuk mengatakan sesuatu, tapi lidahnya terasa kelu. Akhirnya hanya satu yang berhasil dia lakukan. Memeluk Hayam Wuruk erat-erat.
Saat itulah Senopati Angkrang tertawa terbahak-bahak. Sesuatu yang mengejutkan mengingat dia sedang sekarat. "Maaf, bukannya ingin merusak akhir yang bahagia ini. Tapi aku tak tahan untuk tertawa melihat adegan mengharukan ini, mengingat apa yang akan kalian temui di Kutaraja nanti!"
Ada sesuatu pada ucapan Senopati Angkrang yang membuat Hayam Wuruk seketika merasa cemas. "Apa maksudmu, Bedebah?"
Sang Senopati menyeringai jahat. "Kalian kira aku tak menyiapkan rencana cadangan? Seperti Ra Kuti yang menyiapkan Ra Semi saat gagal membunuh Jayanegara, aku pun sudah menyiapkan seseorang di Keraton untuk melaksanakan rencana kedua. Pasti lebih mudah menghadapi seorang perempuan setengah baya seperti Tunggadewi..."
Hayam Wuruk langsung naik pitam. Dia mencengkeram leher Senopati angkrang dan berteriak, "Rencana apa? Apa yang kau lakukan pada Ibunda Tunggadewi?"
Terlambat. Sebelum menghembuskan nafas terakhir, Senopati Angkrang hanya berkata, "Tunggu...tanggal mainnya!"
....