"Hamba tahu ini memang sukar dipercaya," kata Senopati Angkrang dengan tenang. "Tapi ada alasan kenapa hamba sampai membangun pasukan sendiri, dan menyuruh mereka menyerang pasukan Bhayangkara yang mengawal Gusti Prabu. Sesungguhnya pasukan Bhayangkara itu dalam arahan untuk membunuh Gusti Prabu, jika saatnya tepat!"
"Membunuhku?" Hayam Wuruk berteriak saking kaget dan marahnya. "Dan siapa yang mengarahkan mereka untuk melakukannya?"
"Hamba yakin Gusti Prabu sendiri tahu jawabannya," sahut Senopati Angkrang kalem. "Apakah Gusti percaya Gajah Mada mau begitu saja diusir dari lingkar kekuasaan? Ya, Gajah Mada bersiap melakukan pemberontakan, meski terhadap keturunannya sendiri. Itu bukan soal karena dia memang tak menyayangi Gusti Prabu."
Hayam Wuruk begitu terkejut sampai terhuyung mundur beberapa langkah. Dia terus membelalak ke arah lawan bicaranya, seolah berusaha keras menemukan jejak kebohongan di raut mukanya. "Tidak...itu tidak mungkin...itu mustahil...!"
"Hamba takkan bersikeras," Senopati Angkrang bertahan dengan ketenangannya. "Hamba hanya minta Gusti bertanya pada diri sendiri. Jika Gajah Mada menyayangi Gusti Prabu, mengapa Gajah Mada tak memberi tahu bahwa Gusti adalah anaknya? Bukankah setiap orang tua menginginkan pengakuan, jika dia memang menyayangi anaknya?"
Rentetan pertanyaan itu ternyata lebih ampuh dari petuah atau bujukan. Hayam Wuruk kelihatan terpojok. Dia menggeleng-geleng dengan sikap memelas. Kakinya mendadak gemetaran sampai akhirnya tak kuat berdiri. Sang Maharaja muda itu terduduk lunglai. Jawaban semua pertanyaan itu terbaca jelas di wajahnya.
"Jadi," ujarnya pelan seperti pada dirinya sendiri, "dengan membawaku ke sini, Paman Angkrang merusak rencana jahanam itu?"
"Tidak sepenuhnya," sahut Senopati Angkrang. "Gajah Mada selalu punya rencana cadangan. Hamba yakin yang dilakukannya setelah ini justru berbalik dari rencana awal. Dia akan berpura-pura mau menyelamatkan Gusti Prabu. Nantinya dia akan mengumumkan Gusti meninggal dalam upaya penyelamatan."
Pada saat itulah terdengar rangkaian suara gemuruh yang memekakkan telinga. Beberapa api unggun yang mengelilingi benteng tiba-tiba meledak menghamburkan api dan gelombang kehancuran ke segala arah. Pasukan yang berjaga di luar seketika porak-poranda.
Memperhatikan semua itu dari dalam benteng, Senopati Angkrang tersenyum tipis. "Dan sepertinya dia sudah datang!"
Hayam Wuruk langsung berdiri. Matanya bersinar penuh kemarahan, tapi bukan lagi pada Senopati Angkrang. "Biar aku saja yang menghadapinya, Paman!"