Sebagai jurnalis, aku tak pernah menganggap diriku pecinta seni. Apalagi seni modern. Lebih lagi seni posmodern. Pokoknya seni yang aneh-aneh itu aku tidak senang. Bagiku, lukisan bagus itu harus bisa dinikmati tanpa harus belajar empat tahun. Dan musik yang bagus adalah yang tidak bikin pusing.
Makanya aku agak jengkel ketika editorku meminta untuk meliput pementasan terbaru dari Harry Hairy, seseorang yang dianggap Godfather pementasan seni posmodern. Yang lebih kubenci dari seni itu sendiri adalah kreatornya. Apalagi kreator seni posmo. Apapun bentuknya. Aku bahkan tak terlalu paham apa itu seni posmo.
'Ini akan meluaskan wawasanmu,' tegas editorku. 'Seorang jurnalis harus berwawasan luas'.
Aku tak bisa membantah perkataannya. Seperti aku juga tak bisa membantah perkataan-perkataan dia sebelumnya. Aneh untuk menganggap editor majalah yang menjadi simbol kebebasan pers sebagai diktator. Tapi begitulah kenyataannya.
Jadi apa boleh buat, dua hari kemudian aku jadi bagian dari ribuan calon penonton yang mengantri untuk masuk gedung konser terbesar di Ibu Kota. Aku terpana dengan kenyataan bahwa sebagian besar pengantri adalah generasi milenial. Entah mereka yang kebanyakan micin atau memang aku yang mulai tua.
Jika ini semacam konser pertunjukan biasa, betapapun buruknya, kurasa aku masih bisa toleran. Resikonya paling tertidur sebelum pertunjukan usai. Tak masalah. Tapi ini pertunjukannya Harry Hairy. Banyak orang menyebutnya luar-biasa. Aku lebih suka menyebutnya di luar kebiasaan.
Nama sebenarnya adalah Hari Sudjatmoko. Asli Surabaya tapi besar dan nakal di Bandung. Waktu sekolah masih bikin band yang normal. Baru aneh usai meraih gelar doktor. Dia jadi suka bereksperimen dan membuat pementasan yang aneh-aneh. Bahkan di masa selera orang masih waras.
Dia pernah membuat pentas pemutaran film berjudul 'Akan Tetapi'. Film berdurasi tiga jam itu ternyata isinya cuma penggalan-penggalan rekaman dokumenter dari tokoh politik dan selebriti saat mengucap kata 'akan tetapi'. Sepertiga penonton tepuk-tangan, sepertiga ngorok di kursi, sepertiga lagi pulang sebelum usai.
Itu belum apa-apa. Dia pernah membuat kelompok tertentu gusar, bahkan berdemo besar-besaran, ketika membuat pagelaran musik synthesizer yang dimainkannya sendiri. Alatnya standar, tapi tiap tutsnya diprogram memperdengarkan suara desahan wanita yang sedang bercinta - dengan nada yang berbeda-beda. Pertunjukan malam pertama membludak. Tapi malam kedua gagal-total karena gedungnya keburu dibakar pendemo. Lucunya, Harry menganggap itu sebagai sukses besar.
Yang tidak lucu, bukannya surut seiring perubahan selera orang, justru makin lama Harry Hairy makin terkenal. CD-nya yang dijual secara indie laku keras. Dan ketika masuk jaman youtube, konten-kontennya berhasil mengundang penonton sampai ratusan juta. Separonya dari luar negeri.
Padahal CD dan videonya tidak bisa dinikmati sama-sekali. Setidaknya menurutku. Salah satu CD-nya dibuat mirip album musik bertitel 'Hujan'. Terdiri dari selusin judul bertema hujan. Seperti 'Hujan di Suriah', 'Hujan Bulan Maret', dan seterusnya. Yang menjadi masalah, setiap judul isinya sama semua. Tidak ada musik maupun vokal. Hanya ada bunyi hujan. Dan album itu laku keras.
Konten Youtube-nya sama saja. Ada yang berisi tarian seronok tapi cuma kelihatan punggungnya. Tak jelas itu cewek atau cowok. Penonton jadi bingung harus ngiler atau ngeper. Mungkin karena itu, viewer-nya malah mencapai jutaan dan melahirkan ribuan artikel 'ilmiah' di medsos. Sebagian menderetkan bukti kalau itu cewek. Sebagian justru bersikeras kalau itu cowok.
Dengan segala cerita macam di atas, aku pun makin terdorong ke depan antrian. Penasaran kegilaan macam apa yang akan dibuatnya kali ini.
Tapi kurasa aku tidak akan tertidur dalam pementasan dia kali ini. Karena judulnya 'KONSER PENGOCOK PERUT'. Jadi mestinya semacam musik humor. Atau menyanyi dengan lirik lucu-lucuan. Bisalah kalau disuruh menonton yang semacam ini.
Ketika akhirnya masuk dan duduk di gedung konser, panggung masih gelap dan belum jelas apa yang ada di atas sana. Tapi ada yang aneh. Punggung kursi penonton dilapisi lembaran berkilat mirip kaca. Demikian juga lantai di bawahnya. Entah apa gunanya. Aku langsung merasa tidak enak. Seperti sadar akan dikerjain tapi tidak tahu dikerjain apa.
Beruntung aku tidak perlu lama-lama disiksa rasa penasaran. Tepat pukul delapan sesuai jadwal (satu-satunya yang akan kupuji dari pertunjukan ini), lampu sorot raksasa menerangi panggung. Dan sudah ada kejutan menanti di sana.
Terlihat layar besar sekali sebagai latar belakang panggung. Jauh lebih besar dari panggungnya sendiri. Mengingatkan aku pada layar bioskop IMAX. Mungkin tidak sebesar itu. Cuma jadi berpikir ke sana. Di atas panggung sendiri tidak terlihat alat musik apapun. Hanya ada -percaya atau tidak - sebuah kasur sederhana. Lengkap dengan bantal maupun selimut. Dan sebuah headphone besar.
Di depan kasur itulah berdiri makhluk bernama Harry Hairy. Nama itu sendiri tak kalah ngaco. Soalnya yang bersangkutan plontos total. Bukan cuma botak. Dia juga tak punya kumis maupun jenggot. Ditanya soal itu, dengan sablengnya dia menjawab, 'Sampeyan harus cewek dan cantik kalau pingin tahu hairy-nya di mana.'
Saat itu Harry berdiri di atas panggung dengan pakaian kebesarannya. Jeans belel dan kaos hitam. Dia selalu memakai pakaian seperti itu kemana-nana. Hanya tulisan di kaosnya yang selalu berganti. Pernah berbunyi 'CEWEK LU SUKA GUE' atau 'YANG BACA BAKAL NAFSU'.Â
Tapi malam ini ternyata lebih minimalis. Singkat dan padat : 'MAMPUS LU'.
Ruang konser serasa mau runtuh oleh sorak, suitan, dan tepuk-tangan yang luar-biasa gemuruh. Tak sedikit yang menjerit-jerit dan memanggil namanya dengan histeris. Tanpa sadar, aku menggeleng-gelengkan kepala. Sepertinya tak cuma artisnya doang, penggemarnya juga tak kalah sinting...
'Sudah, sudah,' seru Si Harry dengan nada menggerutu. 'Memangnya saya orang gila di pasar sampai disorakin seperti itu.'
Penonton tambah bergemuruh. Seorang penonton berdiri dan berteriak, 'Marry Me!' yang disambut tawa keras dari yang lain. Bukan apa-apa. Yang berteriak tadi laki-laki.
'Minum obatmu dulu, nanti kita bicara lagi,' sahut Si Harry acuh tak acuh. Dan ruang konser sekali lagi meledak oleh suara tawa. Sepertinya cuma aku satu-satunya yang tidak tertawa.
'Sudah, sekarang serius ya. Diam dulu. Ingat lho, kalian masuk ke sini itu pakai uang. Mahal lagi. Kok malah cekikikan sendiri. Dasar penonton Indonesia. Paraaah...'
Terdengar tawa sebentar sebelum ruangan berubah hening. Semua penonton mematuhi bangsat itu. Semua menunggu apa yang akan dia lakukan. Termasuk aku kali ini.
'Beda dengan pementasan saya sebelumnya, juga pementasan siapapun sebelumnya, pementasan kali ini membutuhkan sebuah alat pengaman. Dan alat itu bisa kalian temukan di bawah kursi masing-masing. Tolong diambil sekalian sekarang !'
Dengan penasaran aku membungkuk dan merogoh ke bawah kursi. Tanganku menyentuh sesuatu yang langsung kutarik. Aku tidak tahu harus heran atau bagaimana ketika melihat bahwa 'alat pengaman' yang dimaksud adalah kantong plastik kresek. Ya, yang hitam dan sering dipakai buat tempat sampah itu. Ukurannya malah yang paling besar.
Jancuk, umpatku dalam hati, keisengan apa lagi ini?
'Ndak usah bingung,' kata Si Harry seolah langsung menjawab gerundelanku. 'Memang itulah pengamannya. Kantong kresek itu. Ndak, saya ndak akan memberi tahu kegunaannya. Kalian akan tahu sendiri. Yang saya ingin kasih tahu, jangan sampai kantong itu lepas dari tangan kalian. Serius. Sesuatu yang buruk akan terjadi kalau sampai kantong itu lepas.'
Jangkrik, umpatku lagi - tetap dalam hati.
Dan seolah baru teringat belakangan, Harry tahu-tahu berkata, 'Oiya, hampir lupa...salah satu dari kalian mungkin akan dapat satu milyar malam ini..!'
'Apa?' kali ini aku tidak cuma membatin tapi benar-benar mengutarakannya. Dan semua penonton agaknya juga belum ngeh itu cuma candaan atau bukan. Soalnya semua masih terdiam.
'Serius ini,' tegas Harry. 'Ada hadiah satu milyar buat satu dari kalian. Syaratnya cuma satu : kalian bertahan sampai pentas usai tanpa kena musibah. Musibah yang wajarnya diamankan pakai kantong itu. Wajarnya lho. Kalau kena tapi ndak mau pakai, ya terserah. Tapi tetep ndak terima duit. Ngerti kan? Coba, mana ada superstar yang dermawan kayak saya...!'
Aku mengerutkan kening menatap kantong plastik besar itu. Mau dipakai pengaman buat apa barang beginian? Apa hubungannya dengan musik humor? Pertanyaan yang sama pastinya juga berkecamuk di kepala penonton lain. Terdengar dengung percakapan antara mereka yang mencoba bertukar pikiran. Tapi sia-sia kelihatannya. Beberapa penonton tidak berdiskusi. Cuma menggaruk-garuk kepala.
Entah sudah menyerah atau cuma malas berpikir lagi, dengung percakapan tadi segera kembali menjadi tepuk-tangan membahana dan suit-suitan antusias. Masih ada yang berteriak juga. Tapi syukurlah bukan minta dikawinin. Cuma sekedar teriakan, 'Hidup Harry Hairy!'
Percaya atau tidak, seruan itu menular dan menjalar seperti wabah ke seluruh penonton. Semua, tak peduli umur dan jenis kelamin, menyerukan kalimat yang sama dan bersama-sama pula.
'Hidup Harry Hairy...Hidup Harry Hairy...Hidup Harry Hairy...'
'Hei, ndak usah diteriakin kalian pun saya sudah hidup,' sergahnya bersungut-sungut. 'Sudah ya, saya mau tidur dulu. Sudah seminggu saya begadang nyiapin pementasan ini. Sampai ketemu dua jam lagi...kalau kalian belum mampus!'
Aku agak kaget ternyata dia tidak bercanda. Begitu selesai dengan koar-koarnya yang menyebalkan itu, Harry melompat ke kasur, memasang headphone segede konde itu, menarik selimut....dan benar-benar tidur !
Belum selesai aku menarik nafas jengkel, lampu panggung tiba-tiba padam. Begitu juga seluruh penerangan yang ada dalam ruang konser. Aku merasa dihimpit oleh kegelapan total yang menyesakkan. Disusul oleh keheningan yang beraroma penasaran.
Keheningan itulah yang pertama kali dipecahkan. Pengeras suara raksasa yang mengelilingi ruang konser memperdengarkan musik yang membuatku tertegun. Ini pasti bercanda, pikirku. Tidak masuk akal kalau si plontos itu memainkan musik seperti ini.
Bukan, bukan karena musiknya aneh. Tapi justru karena musiknya sangat normal. Sangat waras. Bukan musik yang diharapkan keluar dari otak sableng milik manusia sinting bernama Harry Hairy.
Musik yang terdengar itu tak lebih dari jenis jazz fusion belaka. Bertempo riang, ringan, dengan ketukan perkusi yang lincah. Aku bisa mengenali vokal Syaharani di sana. Setidaknya selera Harry tidak buruk dalam memilih penyanyi untuk lagunya.
Apa? Apa aku penggemar musik jazz, kok tahu Syaharani? Tentu saja tidak. Aku cuma penggemar wanita cantik.
Sekitar tiga menit rekaman mengalun normal-normal saja. Lalu keningku mulai berkerut. Speed rekaman itu sepertinya melambat. Seperti suara kaset jadul yang diputar memakai tape yang karetnya mendadak kendor. Dengan bodohnya sempat kukira itu insiden. Tentu saja bukan.
Rekaman lagu itu terus melambat kecepatan putarnya. Terus dan terus melambat. Sampai menjadi tak karuan bunyinya. Suara drum dan perkusi yang semula rancak berubah seperti bunyi puluhan kaleng rombeng yang dikocok bareng ratusan petasan menyala dalam kontainer berisi ribuan liter dahak.
Suara seksi dari Syaharani yang melengking jernih pun makin terdengar menyerupai dengkuran seekor singa yang sibuk mengunyah rantai. Demi Tuhan, baru kali ini aku tahu kalau lagu bisa terdengar begitu mengerikan jika diputar jauh di bawah kecepatan normal.
Dan itu belum bagian terburuknya.
Ternyata bukan cuma kecepatannya yang diturunkan gila-gilaan. Nadanya juga direndahkan tanpa ampun. Oh, sekedar informasi, syaraf manusia itu sangat peka terhadap nada rendah. Itulah sebabnya banyak film drama atau horror suka memainkan musik bernada rendah saat adegan-adegan yang murung dan menekan perasaan. Nada demikian sangat efektif membikin pendengarnya merasa stress.
Padahal itu baru nada rendah yang rendahnya biasa saja. Bayangkan jika itu direndahkan seratus kali lipatnya dan diperdengarkan lewat tata suara dolby-surround berkekuatan ribuan watt.
Itulah yang sedang menghajar syaraf-syarafku sekarang.
Aku benar-benar seperti berada di tengah-tengah mimpi buruk. Perasaan gelisah, depresi, trauma, takut dan segudang varian stres lainnya seperti berlomba mencabik-cabik syarafku sampai ke akar-akarnya. Kegelapan total ruang konser makin memperkuat efeknya sampai ke level biadab.
Tiba-tiba layar besar di panggung akhirnya menyala, dan saat melihat apa yang ditayangkan di sana, spontan aku mengeluh, 'Oh Tuhan, tidaak....!'
Tak ada pemandangan indah di layar tersebut. Bahkan sesungguhnya tidak ada pemandangan apapun. Yang ada hanya jutaan noktah cahaya yang disusun membentuk pola geometris yang terus bergerak dan berubah bentuk. Noktah-noktah cahaya itu benar-benar menyilaukan dan warnanya demikian kontras. Memandang semua itu setelah sekian lama dibungkus kegelapan efeknya benar-benar meremukkan biji mata.
Spontan aku berpaling dari layar. Tapi Harry Hairy sepertinya sudah memprediksi bahwa penonton akan melakukan tindakan serupa. Aku kaget ketika dari segala penjuru dinding ruang konser menyorot ribuan lampu warna-warni yang tak kalah kontras dan menyilaukan. Bajingan itu rupanya telah memasang instalasi lighting berkekuatan besar - bukan di atas panggung seperti umumnya pertunjukan, tapi justru di sekeliling tempat duduk penonton.
Hebatnya, lampu-lampu itu tidak statis. Di samping warnanya terus berubah dalam tempo singkat, lampunya sendiri digerakkan dengan sistem hidrolik sehingga bisa bergerak lincah ke segala arah. Tak ada cara untuk menghindar. Menunduk juga percuma, karena lembaran-lembaran mengkilat yang dipasang di lantai dan tempat duduk bisa memantulkan cahaya dengan sempurna.
Bangsat itu sudah memikirkan semua!
Aku merasa seperti dilempar hidup-hidup ke tengah topan badai audio-visual. Kepalaku pusing seketika. Berdenyut-denyut seperti mau meledak. Tapi bukannya benar-benar meledak, perasaan tidak karuan itu seperti mendesak ke bagian dalam tubuh. Membuat nafas sesak dan perut seperti diaduk dengan kuat. Mualnya bukan main. Jika terus begini, bisa-bisa.....
Astaga, seruku dalam hati, aku tahu sekarang! Kenapa dinamakan KONSER PENGOCOK PERUT! Dan apa kegunaan kantong plastik besar ini! Kenapa disebut 'pengaman'! Bajingan! Dia ingin penonton menggunakannya untuk menampung --
Hoeekk!
Suara muntah itu terdengar jelas di tengah kerasnya rekaman lagu yang kini lebih mirip derakan ribuan pohon yang dipatahkan bersamaan. Aku tak tahu dari sebelah mana. Dan percuma mencari tahu, karena detik berikutnya lebih banyak lagi penonton yang muntah. Susul-menyusul, makin lama makin banyak. Menular cepat seperti wabah ganas.
Hoeek! Hooeeek! Hoooeeeeekk....!!!
Aku agak bingung juga bagaimana suara muntahan itu terdengar jelas dan bening. Bersaing dengan musik sinting itu. Tapi kemudian aku mengerti. Harry pasti juga memasang mikropon mini di seluruh kursi penonton. Benar-benar kurang ajar! Tanpa suara itu saja, rasanya sudah tak tertahankan pingin muntah. Dan sekarang harus mendengar paduan suara muntah dari ribuan penonton!
Jadi itu tantangannya! Dia ingin tahu apa ada penonton yang bisa bertahan tidak muntah sampai pertunjukkannya berakhir. Pastilah banyak yang berusaha mengingat nominal hadiahnya yang bukan main.
Sebenarnya aku sudah pingin menyerah. Kubentangkan kantong plastik itu di depan mulutku. Siap untuk muntah sepuas-puasnya. Tapi aku lalu membayangkan apa yang bisa kulakukan dengan duit semilyar perak. Lebih dari itu, aku membayangkan wajah Harry yang tersenyum puas melihatku menderita seperti ini. Entah mana yang lebih berpengaruh, tapi kuputuskan untuk bertahan.
Bertahan! Itu lebih mudah dikatakan daripada dilakukan. Perutku sudah jadi gunung api yang menganggap mulutku sebagai kawahnya. Mendesak dengan kalap tak perduli ego dan nama baikku. Kulawan itu tak kalah gigihnya. Sampai-sampai aku menggeliat-geliat di tempat duduk.
Ini adalah pertempuran terberat dalam hidupku. Jauh lebih berat dari saat aku harus menahan dorongan buang air besar dalam bus ekonomi Surabaya-Jogya. Aku kalah saat itu, sampai aku trauma naik bus. Jadi bagaimana mungkin sekarang aku bisa menang?
Kupejamkan mata kuat-kuat. Berusaha melindungi penglihatan dari terjangan peluru-peluru optik dari segala penjuru. Tidak ada gunanya! Justru karena memejamkan mata, bunyi-bunyian perencah syaraf plus suara ribuan orang muntah jadi terasa lebih menyiksa.
Kucampakkan kantong plastik di tanganku. Kugunakan kedua tanganku untuk menutup kuping. Di tengah tata lampu dan tata suara berkekuatan ribuan desibel, aku menutup mata dan telinga. Erat-erat.
Berhasil? Sama-sekali tidak! Paduan suara dari neraka itu seolah bisa merambat lewat kulit langsung ke syaraf tanpa harus antri ke telinga. Dan sepertinya kekuatan lampu itu terus ditingkatkan sampai aku masih bisa melihat bayangannya menari-nari di luar kelopak mataku.
'Bajingan!' tanpa sadar aku berteriak, masih dengan tangan di kuping dan mata terpejam. Heran, aku merasa lebih baik.
'Bajingan! Sontoyo! Jancuk! Asu!' kuteriakkan seluruh makian yang kukenal. 'Jangkrik-ngerik! Gombale-Mukiyo! Bangke-urip! Babi-ngepet! Bangsat-keparat! Celeng-meleng....'
Terus dan terus aku berteriak-teriak. Persetan dengan apapun. Makin keras dan emosional. Orang kesurupan pun bisa rendah diri melihatku. Kakiku ikut menendang-nendang liar.
Boleh jadi aku sempat kesurupan benar-benar. Soalnya aku sampai tak sadar berapa lama aku berteriak-teriak mengumpat sambil menendang-nendang seperti itu. Tahu-tahu aku baru sadar bahwa bunyi rekaman telah berhenti. Layar besar telah padam. Dan tata-cahaya telah dimatikan. Bahkan lampu ruang konser telah dinyalakan kembali.
Aku masih beruntung. Lampu ruang konser yang temaram membuat hanya penonton terdekat yang bisa melihat dan mendengarku bertingkah persis orang gila setelah pementasan usai. Usai? Aku langsung kaget. Ini berarti.....
'Horee! Saya menang!'
Bukan, bukan aku yang berseru kegirangan itu. Rupanya ada penonton lain yang juga mampu bertahan tidak muntah. Entah kebetulan atau bukan, tempat duduknya persis di sebelahku. Bisa jadi dia mampu bertahan karena perhatiannya teralih ke tingkahku yang gila-gilaan.
Tapi kegembiraannya tidak lama. Karena ternyata konser gila ini belum selesai.
Layar besar di atas panggung kembali menyala tanpa peringatan. Aku, dan mungkin semua penonton, tersentak melihat adegan di layar. Bukan karena menayangkan kembali pola-pola cahaya pendorong muntah tadi. Yang kelihatan di sana sekarang justru pemandangan yang luar-biasa indah. Dengan kwalitas High-Definition pula.
Pemandangan itu berupa sosok wanita bule yang luar biasa cantik, luar biasa pirang, dan luar biasa mulus. Poin ketiga itu kuketahui karena dia hanya memakai bikini yang hampir-hampir tak menutupi apapun. Seolah sengaja mengundang mata untuk memelototi kemulusannya, angle kamera bergerak dari kakinya yang jenjang menuju wajahnya yang secantik bidadari.
Persis ketika kamera membidik wajah wanita itu secara close-up, tiba-tiba dia membuka mulutnya yang sensual, lalu muntah tepat di depan kamera. Penonton bisa dengan jelas melihat tekstur, warna, dan konten muntahannya. Apalagi sedetik kemudian semburan muntahan itulah yang diambil gambarnya secara close-up pula.
Pernah kan merasa ingin muntah saat melihat orang muntah? Itulah yang terjadi. Penonton sebelahku tadi, yang merasa sudah menang, tidak siap oleh serangan mendadak dari layar di depannya. Dia langsung terbungkuk lalu muntah dengan suara memilukan. Bahkan saking hebat muntahnya sampai mengenai penonton di depannya.
Herannya, aku senang sekali melihat penderitaannya.
Habis itu sepertinya konser, pertunjukan, atau apapun itu sudah benar-benar berakhir. Lampu sorot besar menerangi panggung kembali. Harry Hairy sudah tak lagi berbaring di kasur, melainkan berdiri dan menatap langsung kepadaku. Ya, benar-benar menatapku seolah tahu persis akulah pemenangnya. Mungkin karena aku teriak-teriak tadi.
'Sepertinya kita tidak hanya menemukan milyarder baru, tapi juga calon penghuni tetap rumah sakit jiwa,' celetuknya yang disambut tawa penonton (sudah dibikin muntah masih mau ketawa?). Lalu ia memberi isyarat padaku untuk maju. 'Ayo jangan malu-malu. Hebat lho bisa dapat miliaran sementara yang lain cuma dapat muntahan.'
Seperti tersihir, aku melangkah gontai ke atas panggung dipandangi oleh ribuan mata penonton. Saat Harry menjabat tanganku erat-erat sambil menyeringai lebar, agak kemalu-maluan aku berkata, 'Saya...saya khawatir tidak berhak atas uang itu.'
Seringai Si Harry tambah lebar. 'Oh, ndak perlu khawatir. Lha wong uangnya memang ndak ada. Gila apa saya kasih segitu banyak pada orang. Mending saya pakai sendiri. Memang kenapa kok merasa ndak berhak?'
'Soalnya saya bertahan tadi bukan karena pingin uang,' jawabku.
Harry nampak heran. 'Oh ya? Lalu sampeyan pingin apa?'
'Pingin ini!'
Sambil berkata demikian, kutonjok muka Harry keras-keras. Orangnya langsung terjengkang roboh ke kasur. Sebelum ia sempat berbuat apa-apa, aku sudah langsung melompat dan mendudukinya.
Lalu, persis di atas muka dan mulutnya yang menganga, aku muntah sekuat-kuatnya.
'Hueek....hueeekk....huueeeekkk...!!'
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H