Kecuali rasa, kecuali cinta, kecuali bahagia.
Kita, dua orang keras kepala yang rela melakukan apa saja demi cerita dengan akhir sempurna. Kita tidak suka menerka. Kita tidak suka berhenti, lalu berduka.
Kita harus menyelesaikan kisah ini meski luka membuat perih. Meski nanti, pelaminan kita harus dikelilingi tangis yang mengiris. Air mata kita, dan semua tamu undangan akan membanjiri kota. Memancing durjana dan meluruhkan awan-awan renjana.
"Apakah kamu mencintainya?" Sebuah cermin di belakangku bertanya.
"Masih perlukah cinta?"
"Tentu saja, kekuatan cinta mampu menggerakkan semesta."
"Sejak dulu, cinta kami tidak membuat semesta berbaik hati."
Cermin itu diam, bersungut. Aku melengos tak peduli.Â
Cinta kami selalu mengkhianati hampir semua rencana. Dengan hati yang telah mati rasa, aku menyadari ada kekuatan lain yang mengendalikan gerak-gerik semesta lebih daripada cinta.Â
Lebih daripada sekadar cinta.
***