Aku titisan Hawa, yang bersama kamu terusir dari surga. Cinta, bukan kata yang tepat menggambarkan kita. Tragedi, lebih mendekati.
Kita berdua adalah cerita yang berjalan terlampau rapuh. Dari kota dengan debur ombak yang selalu riuh.Â
Kota yang menyimpan masjid megah di tepian pantainya, menghadap senja. Menghadap akhir pengembaraan manusia.
Akhir kita.
"Ini senja untuk kamu bawa. Simpan dalam hati," katamu sembari menyodorkan sebotol besar berisi kilauan jingga dari jantung Losari. Aku tersenyum, aku mengerti kamu sedang meniru Sukab.
Tapi, sadarkah kamu bahwa Alina tak pernah mencintainya? Sementara aku ... entahlah.
Kuambil botol berkilau itu dan meletakkannya di dalam tas. Kamu tampak tidak senang dan bertanya, "Kenapa bukan di dalam hati?"
"Hatiku penuh denganmu."
Kamu diam. Aku berharap lebih, namun wajahmu datar saja. Aku juga.
Senja yang sayu bukan ambisiku, harusnya kamu tahu. Tapi kamu tidak peduli, tidak pernah mau.
Kita, memang pernah membuat geger para pecinta. Kamu gelombang, aku angkasa. Namun, sudah saatnya orang-orang sadar bahwa mata bukan alat pencari kenyataan dan kebenaran. Tidak perlu kita tipu, mereka telah menipu diri sendiri. Dan kita, cukup saling melempar sendu.