Kubaca dari selembar koran lokal yang tertinggal di pos empat pendakian, walikota Karagan meraih penghargaan level internasional. Indeks kebahagiaan kota meningkat tajam.
Aku, panglima gagal yang tidak akan lagi dibutuhkan.Â
Kebaikan bersama tidak bisa terbangun dengan ego satu atau segelintir orang. Tak ada yang salah mundur teratur demi kemenangan seluruh pasukan. Mempercayakan panji peperangan pada panglima lain yang lebih mampu memimpin Karagan.Â
Tanpa paksaan, aku menyerahkan diri untuk dieksekusi tiang gantungan. Aku terkenang karena menyerah, tapi itu bukan masalah.
Orang-orang akan melupakanku dengan mudah.
"Pak Jay!" Sapaan seorang pemuda terdengar dari arah matahari terbenam. Kaku, aku membalas lambaian tangannya. Memanggul cangkul, ia berlari ke arahku.
Tiga tahun berlalu sejak Mandala bersemayam di alam barzakh. Dengan badan semakin kurus dan kulit menggelap, aku benar-benar tampak seperti dia. Wajar. Di sini, Wira Jayanto bukanlah siapa-siapa.
"Dari mana saja? Sehat? Hampir dua bulan tidak kelihatan. Tapi tenang, sayur-sayuran Pak Jay sudah saya urus seperti anak sendiri," ujarnya riang seraya menyalamiku.
"Alhamdulillah. Habis bertapa di dalam gua," jawabku bercanda.
Penuh semangat, pemuda itu mengajakku ke rumah kepala desa. Katanya, seluruh warga pasti ingin menyambut kemunculan seorang tokoh yang dirindukan.Â
Meski terkesima, aku menolak. Bukan hanya karena mereka salah orang, tapi aku yakin Mandala akan melakukan hal yang sama. Pujian dan perhatian selalu membuatnya tidak nyaman.