Mohon tunggu...
N. Setia Pertiwi
N. Setia Pertiwi Mohon Tunggu... Seniman - Avonturir

Gelandangan virtual

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Tenggelam di Langit #12

26 September 2018   08:36 Diperbarui: 26 September 2018   08:48 654
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Usia kami tujuh belas tahun. Dua pemuda tanggung yang penuh impian besar. Pada titik masa itulah, kami berkhayal, membangun peradaban.

Alam bawah sadar mengamininya sebagai perjanjian. Aku panglima utara dan Mandala panglima selatan.
Kami tidak puas menjadi punggawa, namun tak pantas menyebut diri sebagai pangripta. Maka, kami memilih panglima.

Aku mencintai perairan, mengambil mandat wilayah pesisir utara. Sementara Mandala menitahkan dirinya mengabdi di selatan, daerah pegunungan. Kami berdeklarasi sebagai sepasang makhluk kembar yang menjaga keseimbangan, serta kelangsungan alam Karagan. Masa bodoh perkara utopis dan delusional.

Tiga tahun berselang, panggilan pertama menuntut pembuktian. Persis peristiwa pasca reklamasi setengah jadi, luapan Sungai Kaliran menggelamkan rumah-rumah dan menjadikan kota sewujud danau raksasa. Tertuding, lereng-lereng pegunungan selatan terjangkit krisis vegetasi. Pembukaan lahan hutan, terdesak kebutuhan manusia yang tak lekang mengais kepuasan.

Tanpa akar pepohonan, air terlimpas. Berhempasan memenuhi sungai-sungai malang yang mendangkal. Tanah longsor menimbun lahan perkebunan yang sejak awal menantang alam. Tanggul-tanggul gagal bertahan. Aliran coklat tua bercampur bangkai tumbuhan, keluar dari kanal, merayapi permukiman.

Kekhawatiran terjadi. Alam mengamuk, hilang kesabaran atas tindakan orang-orang. 

Mandala tak bisa tinggal diam atau sekadar menontoni keadaan. Tanpa banyak bicara, ia meninggalkan rumah, kuliah, keluarga, dan seluruh kenyamanan pusat kota. Peluk pengabdian, baginya merupakan satu realita tersisa. Ia berkata padaku suatu ketika, "Aku ingin mati sebelum mati."

Mandala membunuh Mandala, dan menghidupkan jiwa lain dalam dirinya. Dua ekor burung yang saling terikat tidak akan bisa terbang bersamaan, katanya. Harus ada satu yang rela mati demi kebebasan yang lainnya. 

Lantas, Mandala memilih lereng-lereng pegunungan sebagai pusara raksasa yang menjadikan dualitas itu sirna.

***

Nisan batu kali dihadapanku saat ini, tidak dapat mewakili kisah Mandala yang sejati. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun