Mohon tunggu...
N. Setia Pertiwi
N. Setia Pertiwi Mohon Tunggu... Seniman - Avonturir

Gelandangan virtual

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Tenggelam di Langit #12

26 September 2018   08:36 Diperbarui: 26 September 2018   08:48 654
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dini hari, setelah ratusan kali aku menolak pulang, Mandala tumbang. Dengan wajah pucat pasi dan bibir kebiruan. Tak ada yang bisa dimintai pertolongan. 

Sejak wartawan berdatangan untuk menarik wisatawan, gubuk di tengah permukiman sudah lama kami tinggalkan. Lembah berselimut kabut menjadi pilihan untuk hidup tanpa gangguan.

Ketika tubuh Mandala menyentak, aku merasa tercerabut dari kesadaran. Panik, marah, kebingungan. Tubuh tak berdaya itu aku teriaki terus-terusan. Mulut Mandala bergetar. Membuka perlahan. Mencoba bicara dengan tenaga penghabisan.

"Unsur intrinsik dari semua yang kasat mata, jauh ... melebihi yang kita kira. Kamu tahu, Wira ... Aku tidak akan hilang ... Hanya menempuh perpindahan. Berubah dari suatu hal menjadi ... hal-hal lain di luar nalar," katanya lirih dengan suara parau dan nafas tersengal.

Kurekam untai kalimat Mandala sebagai hadiah terakhir sebelum ia "berpindah". Raganya yang rapuh tergolek lemah, senyumnya merekah, mendingin seiring waktu. Bersamaan dengan hujan yang menderas, tuntas sudah semua tugas.

Di Lembah Swarga, mata coklat tua itu tidak lagi terbuka.

Terpejam selamanya.

***

Serpih memori tentang Mandala berceceran pada setapak yang kutempuh menuju gubuk. Hijau rumput vetiver tumbuh merapat bagai benteng pertahanan serdadu perang. Tanaman itu digunakan Mandala untuk menahan partikel-partikel tanah, mengurangi dampak gerusan air limpasan. Begitu pula dengan rimbun kaliandra yang menguasai berbagai titik lahan perkebunan.

Di antara batang-batang kopi yang berbanjar, galian rorak tampak terpelihara. Rutin bersama warga, aku dan Mandala membersihkan sedimen yang tertampung di sana. Sejauh penglihatan, sayur-sayuran siap panen menyegarkan pandangan.

Pendangkalan sungai akibat longsor dan erosi lereng gunung, kini tinggal sejarah yang bergaung.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun