Fragmen 10. Lembah Halimun
Semesta dalam perspektif orang pertama.
Dulu, langit bagiku tak pernah lebih dari langit-langit. Terbelenggu di lantai keramik yang tak kenal banyak sifat selain artifisial. Lingkup rumah, kampus, dan kafetaria menelanku bulat-bulat bagai Segitiga Bermuda. Sebelum taman-taman kota menjadi apartemen dan cagar bagi orang-orang kaya, di sana satu-satunya alam yang kumiliki dalam kepala.
Sampai di situ, aku tak menyangka satu peristiwa bisa mengubah segalanya.
Ayahku pergi, tanpa meninggalkan sekerat jejak untuk diikuti. Meninggalkan seluruh harta benda, kecuali tiga baju dan sepasang sendok garpu bergagang merah.
Meninggalkan aku bersama dua perempuan kesayangannya, adik dan ibuku.
Sejak itu, tak ada hari kulewati tanpa mengumpulkan beragam informasi tentang Ayah. Semua rekan dan saudara telah kuhubungi, tidak ada yang tahu keberadaannya. Mulai dari polisi hingga mafia jalanan kukerahkan demi menemukannya.
Sama juga, tak ada hasil.
Ibu mengatakan, sebaiknya aku menyerah. Ayah cuma butuh waktu. Ia akan kembali kala situasi telah terkendali.
Sungguh, aku ingin percaya pada ketabahannya. Tapi, pelupuk mata Ibu tidak pandai berpura-pura. Ia memeluk penerimaan, namun digelayuti peperangan. Ia terlalu keras mengarungi kesepian demi harapan yang hampir tenggelam.
Rumah kami begitu suram, tak pernah kekurangan bahagia yang dipaksakan. Senyum yang terlalu getir. Kehangatan yang terlalu panas.
Pada dua foto wisuda yang terpajang di ruang keluarga, ada Ayah dengan pose serupa. Kami mengeditnya sendiri, menempelkan sosok Ayah di sana. Menyedihkan? Memang. Pathetic.
Selama puluhan purnama, kami berputar-putar dalam labirin tanpa jalan keluar. Setelah semua kemungkinan, hanya satu jalur tersisa. Di ujung pandangan, terdapat lorong gelap yang kami yakini menyembunyikan banyak hal tidak terduga. Di sana, ada satu nama yang belum kami capai.Â
Mandala Jayanto. Dia, adik kembar Ayah.Â
Meski sering menampakkan diri dalam acara keluarga, tidak ada yang tahu nomor kontak dan alamatnya. Ia selalu berdalih bahwa kami tidak akan berkunjung sekalipun tahu tempat tinggalnya.
Terlahir sebagai anak kembar, dia jelas individu yang terpisah dari Ayah. Tanpa embus keraguan, dia melawan arus keturunan Jayanto. Ia tinggalkan bangku kuliah dan hidup mengembara. Dari gunung ke gunung. Dari lembah ke lembah. Â Tak ada seorang Jayanto pun yang mampu memahami pilihan dan tingkah lakunya.Â
Jengah dengan nama Mandala, ia bersikeras dipanggil 'Jay'. Menurutnya, Mandala terdengar terlalu ningrat. Tanpa memiliki tanda pengenal yang masih berlaku, ia mendeklarasikan nama barunya pada acara sunatan sepupuku beberapa tahun lalu.Â
Aku masih ingat wajah Kakek yang merah padam dan langsung melangkah pulang.
Di antara rumpun orang bertuksedo mahal yang menyematkan kehormatan, figur Om Jay tampak seperti makhluk asing dengan setelan petualang. Tapi dalam pandanganku, dia berbeda dan tidak pernah membosankan. Banyak hal-hal baru yang ia ajarkan padaku. Salah satunya, sama dengan Neira, tentang Metazoa.
"Ren, kamu yakin mau melakukan ini?" tanya adikku.
"Harus yakin. Tinggal ini satu-satunya jalan yang belum dicoba."
"Memangnya kamu masih ingat wajah Om Jay? Sudah hampir sepuluh tahun tidak ketemu."
"Kamu lupa kalau dia kembaran Ayah? Tidak akan jauh bedalah."
"Kalau tidak ketemu juga, bagaimana?"
"Sudah tiga tahun pencarian tanpa hasil, aku sih tidak masalah dengan tiga tahun lagi kalau ada hasilnya," jawabku yakin.
"Ini demi Neira ya?"
"Demi kita semua," sahutku seraya memanggul tas keril biru yang telah dipenuhi berbagai perlengkapan.
Membawa restu Ibu, aku pergi tanpa pedoman apa-apa selain naluri semata. Aku yakin, Om Jay yang menyimpan kunci pencarian. Lorong gelap tanpa tanda pengenal.Â
Di hari aku menemukannya, aku akan menemukan Ayah.
***
Mobil biru sudah menunggu di depan gerbang. Aku memandang lurus ke puncak berkabut di selatan Karagan. Percakapan dengan adikku telah berselang belasan bulan.Â
Tak terhitung kali ini pendakian keberapa. Tujuh gunung di sekitar Karagan telah habis kujelajahi. Sosok yang kucari masih bersemayam serupa bayangan dalam pikiran.Â
Hingga, suatu momen dua bulan lalu. Di tengah hujan deras, aku menemukan gubuk reyot di kaki Gunung Parung dengan ukiran MJ pada pintunya. Aku pernah melihat huruf yang mirip pada jam tangan, topi, dan buku catatan milik Om Jay.
Hanya saja, harapanku pupus saat melangkah masuk. Di dalamnya, tidak ada tanda-tanda manusia. Tipikal gubuk-gubuk di film horor: berdebu, penuh sarang laba-laba, dilengkapi tikus besar hilir mudik.
Aku sadar, makhluk sejenis Om Jay bisa berada di mana saja. Bukan tidak mungkin saat ini dia mendiami gua-gua laiknya pertapa. Lintasan kami bisa bersinggungan, kapanpun, tanpa ada pertemuan. Persis novel roman sebelum telepon genggam digunakan. Dua orang kekasih yang gagal bertemu hanya karena terhalang sebuah pilar.
"Andre," Seorang pemuda berkacamata, menyodorkan tangan.
"Eh, hmm ... Jay" jawabku gelagapan. Sapaannya membuat pikiranku kembali berpijak.Â
Aku hampir lupa sedang berada dalam rombongan open trip yang diadakan Yovan, temanku yang sedang merintis usaha pemandu perjalanan. Dia tak pernah alpa mengajakku bergabung sebagai pembantu umum dan penunjuk jalan.
Padahal, sudah berkali-kali kuperingatkan, aku bisa tiba-tiba menghilang. Tak ingin terikat dengan jadwal, apalagi mengurus orang-orang. Tujuan langkah-langkahku tidak akan bisa ditawar.
Untuk menghindar dari kerecokan, aku enggan memperkenalkan diri sebagai Reno. Wajah dan namaku terlalu viral pasca kepergian Ayah. Reno Arka Jayanto lahir baru. Tidak ada lagi pemuda berwajah pucat, lemah, dan hedonis, anak mantan walikota.Â
Aku memanjangkan rambut hingga sebahu, membiarkan kulit terbakar matahari, tidak peduli pada kumis dan janggut yang tumbuh tak beraturan. Mengaku bernama Jay pada setiap orang. Tidak ada yang tahu identitas asliku, kecuali Yovan.
Meski kuakui, tidak buruk juga sih, berada di antara manusia. Mereka membantuku tetap waras. Sejenak mengistirahatkan otak dari tampuk awang-awang. Banyak suara yang bisa didengar. Lebih baik daripada terus berharap batu-batu mampu menjawab pertanyaan.
Menyaksikan mereka, rasanya sama dengan menontoni linimasa yang tak pernah aku tengok entah sejak kapan. Pembicaraan tak pernah jauh dari lelucon baru di media sosial, dan sedikit persoalan negara. Mereka hanya memindahkan percakapan senada dari tengah kota ke hutan belantara.
Setiap kali Ayah kembali melintas dalam pikiran, aku beringsut menjauh. Menjajaki dedaunan basah yang hampir tak pernah diinjak. Menelisik celah-celah tak terjamah. Bahaya dan ketakutan tercoret dari daftar pertimbangan.Â
Berbekal pesan Neira, aku menggandeng erat prasangka baik pada alam beserta penghuninya.
Tapi, sebutan kuncen gunung bagai sebulir embun di tengah gurun. Menguap tak ada arti. Berkali-kali, aku hanya tiba pada titik awal pencarian. Kekosongan, ketiadaan, kehampaan.
Beranjak pergi dari kehilangan, menuju kehilangan berikutnya.Â
Gubuk Om Jay teronggok layaknya artefak sunyi. Berasal dari masa-masa yang terlampau jauh untuk kembali.
Malam tiba, detak detik di gunung Parung memuai panjang. Aku sering memilih tetap terjaga. Menunggu matahari menepati janji dan terbit lagi. Sekadar menyerakahi kesadaran. Tidur seperti membiarkan waktu dirampas kegelapan.
Ada kalanya, kurelakan lelah yang menang. Ayah datang, turun bersama kabut.Â
Dengan gaya khasnya yang elegan, ia duduk di sampingku. Di tepi lembah, kami berbincang hingga pagi. Membangun dialog yang jarang terjadi sejak kesibukan memamah habis dunia kami. Terkadang, jeda kebisuan dan tarikan napas dalam sudah kuanggap saat-saat paling menyenangkan.
Aku selalu memohon untuk tinggal lebih lama. Namun, mimpi buruk hadir ketika nila sudah di ufuk. Dingin menusuk, menguasai tengkuk. Aku terdampar di tanah gersang, terkepung kenyataan. Gamang. Untuk kesekian kalinya, Ayah kembali hilang.
"Ren, bagaimana? Ada pertanda baru?" tanya Yovan.
Aku menggeleng pelan, menatap api unggun. Merasuki perayaan ranting kering yang bebas lepas menjelma abu. Ingin rasanya aku menimbun rasa hangat itu dan menyimpannya di dalam saku.
Eh, tunggu. Sepertinya tidak bisa. Ruang saku sangat terbatas. Aku butuh wadah lebih besar untuk persediaan bagi semua orang. Satu keril mungkin cukup. Untuk Ibu, Ayah, Adikku dan Neira.
Iya dia, Neira Gautama.
Tiga mawar merah di bawah cemara. Metazoa. Kerangka. Gadis itu membawa terlalu banyak kisah untuk mampu kulewatkan begitu saja. Meninggalkan kesan terlampau dalam untuk sanggup kulupakan.Â
Aku tidak paham logika rasa, tapi dia adalah perempuan yang ingin kujaga hingga kehidupan selanjutnya. Setelah senyuman Ibu dan wajah cerah adikku, ia masuk dalam sederet alasan pencarian Ayah.
"Aku ingin lebih dulu bertemu Pak Wira, Ren," kata Neira sore itu, selepas aku melamarnya.
"Kenapa?"
"Kata maaf di antara kami belum tuntas." Â
"Maksudnya?"
"Aku ingin memaafkan dan meminta maaf."
"Minta maaf untuk apa, Nei? Kamu tidak salah pada Ayah."
"Banyak, Ren. Atas semua buruk sangka dan kebencian menahun. Racun-racun itu telah menyakiti kami berdua. Aku belum sempat membicarakannya setelah pemakaman."
"Jadi kamu tidak akan menerimaku hingga Ayah kembali?"
"Aku tidak bisa begitu saja masuk dalam keluarga yang kurutuki selama belasan tahun. Aku butuh restu dari Ayah kamu."
Hela napas panjang mencukupkan percakapan kami, serta tanda kepasrahanku pada keputusannya. Tak henti aku melempar kalimat tanya.
Apakah Ayah pernah berniat pulang? Atau dia ingin selamanya hilang? Apakah kami harus menunggu? Atau benar perlukah sebuah pencarian?
"Eh, eh, itu siapa?" Jeritan seorang perempuan membuyarkan lamunanku. Jari telunjuknya mengarah ke sebuah pohon besar.Â
Nyala api unggun yang baru saja kupandangi mengganggu penglihatan. Cepat, aku menatap Yovan. Aku yakin dia memikirkan hal yang sama.
Tanpa pikir panjang, aku sigap berlari menuju pohon yang ia tunjuk. Setelah berhasil menyesuaikan diri dengan kegelapan, mataku menangkap bayang hitam manusia. Baru saja aku akan mengikutinya, Yovan mencengkram tanganku.
"Ren, tunggu dulu. Jangan sembarangan. Hutan belantara, gelap gulita, kamu mau apa?!" sergahnya.
Aliran darahku berdesir hebat. Aku merasa berdiri di bibir jurang. Kakiku serasa menggantung. Tenggorokanku tersekat. Kalap. Aku lupa cara mengucap kata.
Setiap sel dalam tubuhku mengabarkan satu hal.
Aku berada di ujung pencarian.
***
Beruntung, sarapan pagi ini tidak buruk. Yovan koki terbaik yang pernah dimiliki pecinta alam kampusku. Tapi, aku seperti sedang mengunyah karet. Peristiwa semalam menonaktifkan sensor lidahku. Menurunkan fungsi-fungsi organ dan syaraf secara simultan.
"Van, tinggal dua pos kan? Saya pergi dulu ya. Sampai ketemu di pos terakhir."
"Mau kemana, Ren?"
"Kemana saja angin membawa."
"Gila. Serius lah."
"Sudah jelas kan? Orang tadi malam pasti Om Jay atau Ayah."
"Yakin? Kalau beruang bagaimana?"
"Haish! Mana ada beruang sekurus itu. Lari pakai dua kaki pula."
"Kalau siluman?"
Aku berdecak gusar. "Sudah ah. Mau siluman, setan, atau kasuari, asalkan bisa jadi petunjuk, bakal tetap saya kejar."
Sebelum Yovan sempat membalas, aku bergegas lenyap dari hadapannya. Menuju kediaman makhluk halimun semalam.
Berdasarkan kalkulasi yang sering meleset, naluriku mengatakan ia mengarah ke Lembah Swarga. Di dataran itu, terhampar hutan pinus yang selalu berlumur kabut. Pernah sekali, aku masuk ke sana. Baru menjelajah setengah, aku menyerah. Tak mudah menentukan arah dalam pemandangan yang hampir serupa.
Putih. Magis. Mistis.
Langkahku melambat. Untuk sampai ke batas lembah, ada dua cara umum. Jalur yang menukik curam beralaskan rumput, tampak berkilau oleh embun. Licin.Â
Aku memilih cara kedua. Setapak landai berbentuk zig-zag. Agak jauh, tapi berisiko minimal. Lagipula, aku butuh tenang sejenak untuk mampu menembus kabut.
Baru beberapa meter mendekat, tubuhku terasa ringan. Sepi, tapi aku tidak sendirian. Beberapa ekor tupai menyusuri dahan-dahan, berkejaran.
Hewan-hewan hitam kecil mirip kepiting berjalan miring di dinding lumut. Kaki seribu besar bergulung manis di tanaman perdu. Damai.
Kusatukan jiwaku pada nyawa lembah, berusaha membuat mereka tetap nyaman.
Memasuki area berkabut, aku merinding. Ada hawa lain selain dingin. Terlalu hening. Berkali-kali aku dikejutkan oleh bayangan yang menyembul dari sibakan kabut. Hanya sebatang dua batang pinus tua.
Kakiku melangkah hati-hati, dengan otak terus bekerja mencari cara mengingat arah. Aku merogoh saku, mengambil sebatang kapur. Menoreh sebuah garis pada batang pinus terbesar yang kulihat di batas pandang.
Baru juga setitik kecil pada pohon ketiga, tanganku bergetar. Tepat di atas telunjukku, terukir dua huruf yang amat kukenal. MJ. Sekerat jejak menuju Ayah. Absurd memang. Lupakan soal ketiadaan janji maupun jaminan. Aku butuh sesuatu untuk digantungi harapan.
Dengan deru napas tak beraturan, debar jantung semakin enggan dikendalikan. Bola mataku liar, beredar, mencari tanda-tanda, dan isyarat lain yang bisa menampung pertanyaan. Aku berkeliling, menelisik setiap sisi batu-batuan, batang pohon, dan apa saja yang bisa memberi jawaban.
Ada. Tiga meter dari batang pohon tadi, terukir lambang Om Jay pada batu keabuan berselubung lumut, berbentuk mirip kerucut. Aku yakin ini penunjuk jalan untuk mencapai tempat tinggalnya. Gua, ruang bawah tanah, atau apapun itu.
Sebatang kapur sudah lenyap dari genggaman. Dua huruf itu kini lebih penting daripada jalan pulang. Aku senang, namun ketakutan. Aku bahkan lupa menghitung jumlah lambang yang telah kutemukan.
Serbuan kata tanya menghantui. Mana lagi tandanya? Menuju kemana? Sejauh apa? Apa dan siapa yang akan kutemui?Â
Om Jay, Ayah, keduanya, atau bukan keduanya?
.... bersambung.
***
Cerita ini merupakan fragmen kesepuluh dalam omnibus Tenggelam di Langit. Bacalah cerita sebelumnya untuk memahami semesta mereka dengan lebih utuh.
Fragmen 4. 344 Meter per Sekon
Fragmen 5. Ketika Kabut Itu Pergi (1)
Fragmen 5. Ketika Kabut Itu Pergi (2)
Fragmen 8. Segala Andai di Tepi Sungai
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H